Jalan Indonesia Menuju Poros Maritim Dunia

indonesia

Jalan Indonesia Menuju Poros Maritim Dunia

Salah satu gagasan cemerlang Presiden Jokowi yang mendapat dukungan publik dengan penuh antusiasme adalah tekadnya untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD). Yakni, Indonesia yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis pada ekonomi kelautan, hankam, dan budaya maritim. Lebih dari itu, Indonesia kelak diharapkan menjadi rujukan bagi bangsa-bangsa lain di dunia dalam berbagai bidang kelautan, mulai dari ekonomi, iptek, hankam, sampai cara menata pembangunan kelautan (ocean governance).

Visi Presiden ketujuh RI itu sangat tepat dan beralasan. Pasalnya, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang tersusun atas lebih dari 17 ribu pulau, dirangkai oleh 95.181 km garis pantai (terpanjang kedua setelah Kanada), dan sekitar 70 persen wilayahnya berupa laut. Di wilayah pesisir dan laut itu terkandung beragam sumber daya alam (SDA) dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang sangat besar dan belum dimanfaatkan secara optimal.

Kekayaan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan tersebut dapat kita daya gunakan untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa melalui 11 sektor ekonomi kelautan; (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) pertambangan dan energi (ESDM), (6) pariwisata bahari, (7) hutan bakau, (8) perhubungan laut, (9) sumberdaya wilayah pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA nonkonvensional.

Total nilai ekonomi ke-11 sektor ekonomi kelautan itu sekitar 1,2 triliun dolar AS per tahun dan dapat menyediakan lapangan kerja sedikitnya untuk 40 juta orang. Sampai sekarang, potensi ekonomi kelautan yang luar biasa besar itu baru dimanfaatkan sekitar 22 persen dari total potensinya. Ibarat “raksasa ekonomi yang tertidur”.

Selain itu, posisi geoekonomi dan geopolitik Indonesia juga sangat strategis, di mana 45 persen dari seluruh komoditas dan produk yang diperdagangkan di dunia dengan nilai 1.500 triliun dolar AS per tahun dikapalkan melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) (UNCTAD, 2012). Wilayah NKRI yang diapit oleh Benua Asia dan Australia serta Samudra Pasifik dan Hindia merupakan choke point yang sangat menentukan pergerakan kapal-kapal perang maupun niaga dan dinamika politik global, khususnya potensi konflik antara negara-negara besar, seperti AS, Cina, Jepang, India, dan Asia Tenggara (ASEAN). Wilayah pesisir dan laut Indonesia juga merupakan pusat keanekaragaman hayati laut dunia dan penentu dinamika iklim global.

Bila kita mampu membangun wilayah pesisir dan lautan serta kekayaan alam yang terdapat di dalamnya secara produktif, efisien, inklusif, dan ramah lingkungan maka kita akan mampu mengatasi sejumlah permasalahan utama bangsa. Misalnya, pengangguran dan kemiskinan, kesenjangan antara kelompok kaya vs miskin yang kian melebar, disparitas pembangunan antarwilayah, buruknya konektivitas dan sangat mahalnya biaya logistik (26 persen produk domestik bruto/PDB), gizi buruk, dan rendahnya daya saing serta Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia.

Konstruksi PMD

Mengacu pada visi Presiden Jokowi tentang PMD di atas pada dasarnya ada lima kelompok kebijakan dan program utama yang mesti dikerjakan; (1) penegakan kedaulatan Negara Kesatuan Republika Indonesia (NKRI), termasuk penuntasan batas wilayah laut, pemberantasan illegal fishing dan berbagai kegiatan ilegal lainnya; (2) pembangunan ekonomi (pemanfaatan SDA dan JASLING) kelautan; (3) memelihara kelestarian sumber daya kelautan; (4) pengembangan kapasitas iptek kelautan; dan (5) peningkatan budaya maritim bangsa.

Untuk mengakselerasi pembangunan kelautan secara lebih produktif, efisien, inklusif, dan ramah lingkungan, selain Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang sudah ada sejak awal Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid (September 1999) dan dibesarkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri melalui program GERBANG MINA BAHARI (Gerakan Nasional Pembangunan Kelautan), Presiden Jokowi juga membentuk Kementerian Koordinator Maritim.

Dalam hal penegakan kedaulatan dan pelestarian, pemerintah telah melaksanakan sejumlah kebijakan yang cukup bagus, antara lain, pemberantasan illegal fishing, moratorium kapal ikan eks asing, larangan alih muatan ikan di laut (transhipment), larangan penggunaan alat penangkapan ikan yang digunakan oleh mayoritas nelayan kita, dan larangan menangkap lobster, rajungan, dan kepiting ukuran tertentu. Sayang, tidak didahului dengan sosialisasi dan penyiapan alternatif solusinya.

Sementara, potensi ekonomi kelautan yang luar biasa besar, antara lain, perikanan budi daya, industri bioteknologi kelautan, garam, pariwisata bahari, energi terbarukan dari laut (seperti arus, gelombang dan Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), industri dan jasa maritim, dan sumber daya wilayah pulau-pulau kecil belum mendapat perhatian memadai. Program ekonomi kelautan yang sekarang dikerjakan pemerintah baru pembangunan pelabuhan dan infrastruktur maritim lainnya yang sifatnya mengeluarkan uang (APBN), bukan menghasilkan pendapatan negara. Padahal, membangun pelabuhan tanpa dibarengi dengan mengembangkan perekonomian wilayah hanya akan mengakibatkan pelabuhan itu mubazir alias mangkrak.

Program ekonomi biru

Oleh sebab itu, mulai sekarang pemerintah bersinergi dengan swasta dan masyarakat harus mengembangkan ekonomi kelautan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (di atas tujuh persen per tahun), berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja dan menyejahterakan rakyat), dan ramah lingkungan secara berkelanjutan (sustainable). Dengan kata lain, program pelestarian dan penegakan kedaulatan tidak seharusnya mematikan ekonomi atau dipertentangkan dengan upaya kita untuk memacu pertumbuhan ekonomi berkualitas, perluasan lapangan kerja, dan peningkatan daya saing bangsa. Keduanya bisa disinergikan, saling melengkapi melalui aplikasi ekonomi biru (blue economy).

Pertama, penyusunan dan implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) darat-pesisir-laut secara terpadu yang mengalokasikan sedikitnya 30 persen dari total ruang wilayah pesisir dan laut untuk kawasan lindung dan maksimal 70 persen sisanya untuk kawasan pembangunan. Di dalam kawasan pembangunan inilah kita boleh mengembangkan kawasan pertambakan udang, industri, pariwisata, pertambangan, pemukiman, pelabuhan, dan sektor pembangunan lainnya sesuai daya dukung wilayah.

Kedua, revitalisasi (peningkatan produktivitas, efisiensi, dan sustainability) seluruh usaha ekonomi kelautan yang sudah berjalan (existing marine economic sectors), mulai dari usaha perikanan tangkap, perikanan budi daya, pariwisata bahari, perhubungan laut, sampai galangan kapal. Ini dapat diwujudkan dengan menerapkan lima prinsip ekonomi biru pada setiap usaha ekonomi kelautan; (1) skala ekonomi, (2) manajemen rantai suplai terpadu (produksi-pemrosesan-pemasaran), (3) teknologi inovatif pada setiap mata rantai sistem bisnis, (4) inklusif dengan melibatkan masyarakat lokal, dan (5) ramah lingkungan.

Ketiga, dengan mengaplikasikan kelima prinsip ekonomi itu, kita kembangkan berbagai sektor (usaha) ekonomi kelautan baru, seperti industri bioteknologi kelautan, industri nanoteknologi kelautan, energi terbarukan dari laut, deep-sea water industry, deep sea mining, dan coastal and ocean engineering. Selain itu, kita mesti mengembangkan usaha-usaha ekonomi kelautan di kawasan pesisir, pulau kecil, dan laut yang belum terbangun.

Keempat, memperbaiki dan mengembangkan konektivitas maritim yang meliputi, (1) akselerasi pembangunan tol laut (pelabuhan dan kapal laut) dan (2) jaringan informasi dan telekomunikasi. Ini sangat mendesak untuk menjamin kelancaran, kecepatan, dan keamanan aliran barang dan penumpang di seluruh wilayah NKRI. Sehingga, disparitas harga barang-barang antarwilayah dan biaya logistik bisa lebih murah, dan daya saing ekonomi pun turut terdongkrak.

Kelima, rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut yang telah rusak, pengendalian pencemaran, konservasi keanekaragaman hayati, dan pengayaan stok ikan dan biota laut lainnya untuk memelihara dan meningkatkan daya dukung serta kelestarian SDA dan lingkungan pesisir dan lautan.

Keenam, mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global, tsunami, dan bencana alam lainnya. Ketujuh, peningkatan kualitas dan jumlah SDM berbagai bidang kelautan sesuai kebutuhan, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal (pelatihan dan penyuluhan).

Kedelapan, peningkatan penelitian dan pengembangan (R&D) supaya kita mampu menguasai, menghasilkan, dan menerapkan inovasi teknologi dan nonteknologi (seperti business models dan strategi pemasaran) untuk meningkatkan produktivitas, daya saing, dan keuntungan ekonomi kelautan nasional secara berkelanjutan.

Kesembilan, memperbaiki dan mengembangkan kerja sama internasional di berbagai bidang kelautan untuk secara bersama dapat memanfaatkan laut beserta SDA yang terkandung di dalamnya untuk kemajuan, kesejahteraan, dan perdamaian bersama secara berkelanjutan. Prinsip yang harus digunakan Pemerintah Indonesia adalah bahwa semua kerja sama harus bersifat saling menguntungkan dan menghormati serta mendahulukan kepentingan bangsa Indonesia. Oleh Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS

*** Program Quick Wins

Kesembilan kebijakan dan program di atas bersifat jangka panjang yang harus dikerjakan sejak sekarang dan berkesinambungan. Namun, hasilnya baru bisa dinikmati setelah beberapa tahun ke depan. Oleh sebab itu, kita mesti mengembangkan program-program pembangunan ekonomi kelautan yang hasilnya dapat kita rasakan dalam satu atau paling lambat lima tahun mendatang (quick wins).

Pertama, pengembangan 5.000 unit armada kapal ikan nasional berukuran di atas 50 GT dengan alat tangkap yang efisien dan ramah lingkungan untuk memanfaatkan sumber ikan di wilayah-wilayah laut yang selama ini menjadi ajang pencurian ikan (illegal fishing) oleh nelayan asing atau yang masih underfishing, seperti Laut Arafura, Laut Banda, Laut Sulawesi, Teluk Tomini, Laut Natuna, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Samudra Hindia dan Pasifik.

Kedua, revitalisasi dan pengembangan, (1) budidaya laut (mariculture) dengan komoditas unggulan, seperti kakap, kerapu, bawal bintang, ikan gobia, lobster, teripang, rumput laut (Euchema spp, Sargasum spp, dan lainnya), kerang hijau, dan kerang mutiara di dua juta ha kawasan perairan laut yang belum terkena polusi; (2) 300 ribu ha tambak udang Vanammei intensif dan 200 ribu ha tambak udang windu semiintensif; (3) budi daya tambak ikan bandeng, kakap, nila salin, kepiting soka, dan lainnya; dan (4) satu juta ha usaha budi daya rumput laut (Gracillaria spp).

Ketiga, dengan bahan baku dari usaha perikanan tangkap dan perikanan budi daya di atas maka kita akan mampu merevitalisasi industri pengolahan hasil perikanan yang saat ini hanya sekitar 50 persen yang masih beroperasi dari total kapasitas terpasang nasional. Lebih dari itu, dengan bahan baku yang besar itu, kita pun bisa mengembangkan industri pengolahan hasil perikanan di banyak lokasi, terutama di luar Jawa dan Bali.

Keempat, pengembangan industri bioteknologi kelautan yang meliputi, (1) genetic engineering ramah lingkungan untuk menghasilkan bibit dan benih unggul; (2) industri pakan ikan dan ternak berbasis mikro alga; (3) ekstraksi senyawa bioaktif dari biota laut untuk bahan baku industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetika, dan lainnya; dan (4) industri biofuel dari mikro alga. Potensi ekonomi industri ini diperkirakan empat kali nilai ekonomi industri teknologi informasi (Ministry of Maritime Affairs and Fisheries, Korsel, 2002).

Kelima, revitalisasi dan pengembangan pariwisata bahari dengan cara, (1) pembenahan objek (destinasi) wisata yang ada dan mengembangkan destinasi yang baru; (2) pengembangan jenis-jenis wisata bahari baru secara inovatif (product development); (3) peningkatan aksesibilitas dari dan ke objek wisata melalui transportasi laut, darat, maupun udara; (4) pembenahan dan pembangunan infrastruktur dan sarana di dan sekitar lokasi wisata; (5) peningkatan promosi dan pemasaran melalui berbagai media dan ekshibisi, baik di dalam maupun luar negeri; dan (6) peningkatan kualitas SDM pariwisata bahari dan kesadaran serta perilaku masyarakat lokal supaya lebih kondusif dan menyenangkan para wisatawan domestik dan mancanegara.

Keenam, revitalisasi dan pengembangan industri dan jasa maritim, khususnya, (1) industri galangan kapal; (2) peralatan dan mesin; (3) peralatan dan mesin untuk industri migas serta pertambangan mineral; (4) fibre optik dan kabel laut; (5) perangkat lunak untuk manajemen pelabuhan dan transportasi laut; dan (6) perangkat lunak untuk prediksi lokasi fishing grounds, cuaca, dan kondisi oseanografi.

Ketujuh, pembangunan 21 kawasan industri terpadu berkelas dunia (world class) dengan pola KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) yang inovatif, inklusif, dan ramah lingkungan di wilayah pesisir bagian barat (Sabang, Kuala Tanjung, Teluk Bayur, Bengkulu, Batam, dan Lampung); bagian tengah (Kalbar, Kalsel, Kaltim, dan Kaltara); dan bagian timur NKRI (NTB, NTT, Sulsel, Sulbar, Sulteng, Sultra, Sulut, Maluku, Malut, Papua, dan Papua Barat).

Supaya segenap program pembangunan kelautan jangka panjang maupun quick wins di atas dapat terealisasi, pemerintah harus menyediakan skim kredit perbankan khusus dengan bunga yang relatif murah dan persyaratan relatif lunak (Bank Maritim), seperti yang berlaku di sektor industri kelapa sawit sejak Pemerintahan Orba sampai sekarang dan juga di negara-negara lain. Selain itu, iklim investasi (seperti perizinan, pajak, ketenagakerjaan, dan keamanan berusaha) serta kebijakan politik-ekonomi harus kondusif bagi tumbuh-kembangnya ekonomi kelautan.

Dengan peta jalan pembangunan kelautan seperti di atas, dari saat ini sebagai negara berpendapatan menengah bawah (GNP/kapita sebesar 5.000 dolar AS), insya Allah, pada 2020 Indonesia akan menjadi negara berpendapatan-menengah atas (GNP/kapita sekitar 10.000 dolar AS), dan pada 2025 menjadi negara maritim yang besar, maju, adil, makmur, dan berdaulat serta sebagai Poros Maritim Dunia dengan GNP/kapita di atas 14 ribu dolar AS.