Usaha Budidiya Madu Oleh Masyarakat Pesisir: Salah Satu Alternative Mata Pencaharian

madu_aceh (2)

Usaha Budidiya Madu Oleh Masyarakat Pesisir: Salah Satu Alternative Mata Pencaharian

(sebuah kisah pemuda pejuang kehidupan di Aceh Timur)

PKSPL-IPB, Pertengahan April 2018, tim lingkungan PKSPL-IPB (Khairuzzaman, Teuku Kemal Pasya, Dahyar Muhammad, dan Musnaini) melakukan survey di sebuah rumah di Desa Teupin Raya dalam rangka mengamati perkembangan masyarakat sekitar lingkar tambang di Aceh Timur. Dialah seorang pemuda, Abdurrahman yang dipanggil teman-teman dengan nama Edo, salah seorang mantan kombatan yang pada tahun 1998 baru tamat dari SMP. Setelah sempat bekerja sebagai helper di beberapa perusahaan, namun kontrak pekerjaan selesai, maka Edo mencari-cari ide usaha di kampung dengan sumberdaya yang ada, hingga muncul ide usaha budidaya madu linot (bahasa Aceh) atau kelulut atau kelanceng, dengan mencoba-coba. Lebah linot merupakan jenis lebah kecil dari jenis Trigona sp. (Genus Trigona, famili Melliponini) atau bahasa Inggris disebut stingless bee (lebah yang tidak mempunyai sengat).

Adalah usaha yang dirintis Edo dengan pengalaman secara autodidak (melalui media online, seperti youtube, dll) dan kemudian berjejaring dengan rekan-rekan lain yang telah lebih dahulu melakukan usaha ini melalui dunia maya, seperti para peternak linot dari Pulau Jawa dan Malaysia.

Linot sejenis lebah yang tidak menyengat dan biasa ditemukan di perkebunan sawit atau di atap-atap rumah. Jenis linot ini, biasaya membuat sarang pada pohon-pohon yang telah lapuk seperti rambutan, karet, dll. Cara pemanfatan pohon-pohon yang telah lapuk dan telah ada linot itu adalah menebang pohon tua itu, dan kemudian baru bisa dibawa pulang pada malam hari. Linot ini punya kecenderungan untuk terbang di pagi hari dan pulang di sore hari. Pada saat itulah batang kayu yang telah dipotong itu dibawa pulang. Menurut Edo, linot mempunyai karakter bermacam-macam, seperti ada yang mempuyai sifat agresif, pemalu, rajin, dan pemalas. Hal ini diketahui dari produktifias hasil madunya. Ada yang cepat memproduksi madu seperti dalam waktu 12 hari telah penuh propolisnya. Namun ada yang memerlukan waktu hingga hampir dua bulan. Linot ini tidak memilih pakannya, mulai dari jenis rumput-rumputan hingga tanaman keras berbunga lainnya yang memiliki sari bunga (nectar) untuk pakan, seperti Kaliandra. Di hutan Aceh masih terdapat paling tidak terdapat 37 genus linot, dibandingkan dengan di Malaysia sekitar 35 genus, menurut berbagai sumber yang diperoleh Edo.

Rasa madu linot sendiri beraneka macam, ada yang manis, masam, sepat, dan pahit, tergantung pohon atau bunga apa yang dihisap olehnya. Semakin gelap maka semakin bagus khasiatnya, termasuk untuk mengurangi kolesterol, stroke, jantung, lemak darah, dll. Lebih luas manfaat madu sudah dikenal sebagai sumber bahan makanan, obat, dan komestik.

Cara (metedoe) budidaya dilakukan oleh Edo, dan teman-teman, masih bersifat menangkari jenis linot dari hutan sekitar sembari “didomestikasi” hingga usaha perbanyakan ratu lebah. Batang kayu ditebang/ dipotong bagian yang terdapat sarang lebah ini, kemudian dibawa pulang ke kampung dan dipelihara untuk menghasilkan madu. Bagian sarang pada kayu yang dipotong kemudian ditempat di tempat teduh di sekitar pekarangan, diberi tutup kotak (stup) ukuran 20 cm x 20 cm x 30 cm yang telah dilubangi di tengahnya dan ditutup dengan plastik untuk mudah memantau perkembangan polen yang terisi madu dan ditutup rapat diatas lagi supaya terlindung dan gelap di bawahnya. Untuk merangsang lebah naik ke atas kotak (stup), di bagian dalam kotak diolesi dengan polen/ lilin dari sarangnya. Pemanenan/ pengambilan madu dapat diambil setelah terbentuk sarang-sarang yang terisi di dalam kotak dengan cara disedot, sehingga tidak merusak sarang (polen) yang ada. Madu yang diambil di kotak merupakan madu cadangan yang dihasilkan oleh lebah (sebagai pakan persedian pakan koloni), sehingga tidak akan terganggu produksi madu utama yang ada di sarang bagian bawahnya untuk kehidupan ratu lebah.

Untuk memperbanyak sarang/kotak (budidaya?), selanjutnya dilakukan dengan membuat calon sarang baru dari kayu yang lain disambung dengan menghubungkan antara lubang di pinggirnya, sehingga ada terdapat ratu baru, maka akan pindah pada sarang baru, dan seterusnya. Namun pada saat ini lebih banyak dengan cara mencari sarang lebah di hutan untuk ditangkarkan dan diperbanyak.

Hasil panen yang telah dilakukan Edo, selama dua bulan telah berhasil panen dua kali, dengan nilai hasil penjualan sekitar 7,5 jt, itupun dengan jumlah katak sekitar 8 yang bisa dipanen. Saat ini harga penjualan linot ini tidak terpengaruh dengan banyaknya produksi. Adapun harga jual per botol ukuran 250 ml pada saat ini dijjual Rp. 100.000. namun sebanyak apapun persediaan stok mdu linot akan langsung habis ketika tiba di konsumen. Masyarakat yang mengetahui tentang madu linot ini mulai menjadi pelanggan setia. Dan pemasaran linot dilakukan di sekitar lokasi saja, paling jauh di Aceh Timur. Ia belum mampu ekspor. Itu karena permintaan dari masyarakat saja belum cukup. Pasar Aceh masih sangat potensial dalam mengembangkan peternakan madu linot. Edo sendiri bermimpi untuk mengembangkan usaha peternakan linot. Ia memiliki tekad bahwa satu tahun ke depan kampungnya (Teupin Raya) diupayakan menjadi pusat wisata ekologi dengan pemasaran madu linot, propolis, dan polen. Sebagai desa wisata, Gampong Teupin Raya harus ramah, baik lingkungan yang hijau dan juga masyarakatnya. Parawisata bisa memberikan dampak berganda pada ekonomi masyarakat dan akan memberikan citra positif, bukan saja bagi Gampong Teupin Raya, tapi juga Pemerintah Kabupaten Aceh Timur. Yang pada awalnya masyarakat setempat melihat dengan sinis dan pesimis dengan apa yang dilakukan Edo, namun sekarang sudah banyak pemuda yang terlibat dengan usaha Edo ini. Selain itu, juga mereka bersemangat untuk belajar wirausaha (enterpreneurship) sekaligus menjaga ekosistem dengan mulai menanam (penghijauan) dan juga sebagai bahan baku pakan linot.

Dengan usaha madu linot ini, Edo berusaha merubah pandangan para pemuda di kecamatannya untuk memperbaiki nasib tanpa yang tidak bergantung pada pekerjaan kontraktor / perusahaan yang ada ataupun di pemerintahan.