PKSPL-IPB Dan FOCUS Dukung Inisiatif Penggiat Konservasi Pesisir Batang Menghadapi Rob Dan Abrasi
PKSPL-IPB Dan FOCUS Dukung Inisiatif Penggiat Konservasi Pesisir Batang Menghadapi Rob Dan Abrasi
Jawa Tengah – Kabupaten Batang merupakan salah satu wilayah di Pantai Utara Jawa yang sedang menghadapi tantangan berat dari abrasi dan rob. Di pantai Sigandu – di mana pernah dilakukan upaya penanaman cemara laut dan mangrove pada kisaran tahun 2017— sekitar 30 meter pantai hilang di tahun 2023. Beberapa bangunan seperti mushola dan kafe sudah tak ada atau berada di tengah air yang bergelombang.
Menurut Nur Rohadi (40 tahun), salah satu penggiat konservasi yang pernah mendapat penghargaan Kalpataru pada tahun 2019, kondisi ini sangat menyedihkan. Namun yang paling membuatnya sedih adalah, apa yang telah diupayakan bersama rekan-rekan relawan tersebut kurang didukung oleh masyarakat yang lain. Ditambahkannya, saat ini Pantai Sigandu malah dipenuhi oleh kafe-kafe, padahal semestinya itu adalah wilayah sempadan. Namun ia tak bisa menyalahkan mereka seratus persen karena secara sah, tanah itu adalah tanah milik perorangan. Namun dari segi konservasi dan kebencanaan, kondisi ini akan menempatkan mereka pada kondisi berisiko jika terjadi bencana akibat perubahan iklim. Maka harus ada sebuah tindakan dan kebijakan yang konkret terkait sempadan pantai, jika benar-benar hendak menyelamatkan Batang dari rob atau abrasi.
Ditambahkannya, pembangunan kadang-kadang justru menambah beban lingkungan dan ancaman karena tidak mempertimbangkan kompleksitas dan konektivitas antar wilayah. Sebagai contoh, pembangunan tanggul laut di Kota Pekalongan membuat arus berubah dan menghantam pesisir Batang sehingga abrasi dan rob mengancam Kabupaten Batang.
Demikian juga dengan pembangunan pelabuhan batubara yang tidak diikuti dengan penguatan pada aspek konservasi sehingga mengancam keberadaan karang dan pesisir Batang. Terlebih lagi dengan percepatan Proyek Strategis Nasional Batang, iapun meragukan adanya upaya untuk melakukan konservasi sumberdaya sebagai penyeimbangnya.
Namun upaya Nur Rohadi tetap tak terhenti, ia dan para penggiat lain tetap berusaha terus melakukan upaya restorasi kawasan pesisir baik dengan pembibitan, penanaman dan edukasi termasuk anak-anak, tentang mangrove sembari terus berusaha melakukan advokasi ke pihak terkait. Namun upaya ini pun kurang mendapat dukungan, sehingga Mangrove Education Center (Mang-EC) di kawasan Pantai Sigandu, Desa Klidang Lor yang diinisiasi oleh para relawan dan biasanya ramai sebagai lokasi anak-anak maupun masyarakat lain yang belajar tentang mangrove, saat ini tergenang permanen akibat rob serta peninggian jalan di sekitar lokasi demi akses ke sungai dan pabrik. Ia dan rekan-rekan tak mampu berbuat banyak karena peninggian tersebut dilakukan oleh para nelayan dan kelompok yang kuat posisinya di masyarakat. Tapi dampaknya bagi pendidikan lingkungan bersifat permanen, tak ada lagi edukasi bagi anak-anak muda Batang tentang lingkungan pesisir. Maka ia mengharapkan adanya dukungan dari pemerintah maupun pihak lain untuk merevitalisasi tempat ini dengan basis kerelawanan mereka. Selain sebagai lokasi edukasi, Mangrove Education Center juga berperan sebagai arboretum atau kebun koleksi mangrove. Terdapat 26 jenis dari 40 jenis mangrove yang ada di Indonesia sebagai media belajar mengenali mangrove dan manfaatnya di Mang-EC ini.
Apa yang terjadi di Batang memiliki kesesuaian dengan salah satu riset Universitas Diponegoro (UNDIP) pada tahun 2022 yang menemukan fakta bahwa terjadi perubahan garis pantai yang sangat signifikan di Kabupaten Batang. Mengambil sampel di Pantai Sigandu, Pantai Ujungnegoro, Pantai Kuripan, Pantai Celong, dan Pantai Jodo, dalam rentang 2017-2019 rerata jarak pergeseran pantai adalah 2,02 meter sedangkan pada 2019-2021 rerata pergeseran pantai adalah 4,13 meter. Total luasan darat yang hilang atau abrasi di Kabupaten Batang sampai tahun 2021 adalah 11.453 hektar akibat fenomena pasang surut serta angin (Islam dkk 2022). Mirisnya, ketika fenomena alam ini makin mengancam, justru mitigasi dan adaptasi di darat tetap minim. Belum ada mitigasi dan adaptasi yang konkret yang signifikan untuk mengurangi kerentanan itu selain pemasangan Geotube pada tahun 2015 lalu. Penanaman mangrove tak lebih hanya sebatas acara seremonial sesaat, bukan program yang menyeluruh dan berkelanjutan.
Fenomena perubahan iklim dan dampaknya pada masyarakat pesisir termasuk bagi perempuan dan anak menjadi perhatian bagi FOCUS (Fisherfolk Empowerment for Climate Resilience and Sustainability/Pemberdayaan Nelayan untuk Ketahanan Iklim dan Keberlanjutan) yang merupakan program berbasis konsorsium yang lahir dari proses kokreasi antara Norwegian Agency for Development Cooperation (NORAD) dengan Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (berafiliasi dengan Hivos), WALHI, KIARA dan PKSPL-IPB University yang bertujuan untuk membangun pengelolaan pesisir terpadu untuk sistem pangan berkelanjutan bagi masyarakat nelayan termasuk perempuan di Jawa Tengah.
FOCUS mengupayakan adanya partisipasi yang lebih kuat dari penduduk pesisir di wilayah sasaran di Jawa Tengah dalam pengambilan keputusan perencanaan sumber daya pesisir, advokasi untuk mempromosikan keseimbangan yang lebih berkelanjutan antara pemanfaatan dan konservasi sumber daya laut, dan kegiatan untuk meningkatkan rantai nilai lokal di tingkat lokal. Sebagai salah satu langkah awal, FOCUS saat ini sedang dalam proses untuk menyusun dokumen State of the Coast Kabupaten Batang yang berisikan potret kebijakan dan upaya yang sudah dilakukan serta mengidentifikasi celah yang masih ada dan peluang integrasi yang dapat dilakukan oleh banyak pihak secara sinergis dalam pola Integrated Coastal Management atau Pengelolaan Pesisir Terpadu.
Program ini juga merupakan bagian dari upaya PKSPL IPB University untuk memberikan sumbangsihnya pada pencapaian target Sustainable Development Goals (SDGs) khususnya SDG 2: mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan memperbaiki nutrisi, SDG 5: mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan, SDG 13: mendorong adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim di pesisir, SDG 14: melestarikan dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya kelautan dan samudera untuk pembangunan berkelanjutan, dan SDG 17: menguatkan pola kemitraan untuk pembangunan berkelanjutan.
(Yop/Red)
Sumber: https://www.mediakompasnews.com/
Terbit: 26 Juni 2023