MENUJU POROS MARITIM DUNIA
MENUJU POROS MARITIM DUNIA
Salah satu gagasan cemerlang Presiden Jokowi yang mendapat dukungan publik dengan penuh antusiasme adalah tekadnya untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD). Yakni, Indonesia yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis pada ekonomi kelautan, hankam, dan budaya maritim. Lebih dari itu, Indonesia kelak diharapkan menjadi rujukan bagi bangsa-bangsa lain di dunia dalam berbagai bidang kelautan, mulai dari ekonomi, iptek, hankam, sampai cara menata pembangunan kelautan (ocean governance).
Visi Presiden RI ke-7 itu sangat tepat dan beralasan. Pasalnya, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang tersusun atas lebih dari 17.000 pulau, dirangkai oleh 95.181 km garis pantai (terpanjang kedua setelah Kanada), dan sekitar 70% wilayahnya berupa laut. Selain itu, posisi geo ekonomi dan geopolitik Indonesia juga sangat strategis, di mana 45% dari seluruh komoditas dan produk yang diperdagangkan di dunia dengan nilai USD1.500 triliun/tahun dikapalkan melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia/ ALKI (UNCTAD, 2012).
Konstruksi PMD
Mengacu pada visi Presiden Jokowi tentang PMD di atas, pada dasarnya ada lima kelompok kebijakan dan program utama yang mesti dikerjakan: (1) penegakan kedaulatan NKRI, termasuk penuntasan batas wilayah laut, pemberantasan illegal fishing, dan berbagai kegiatan ilegal lainnya; (2) pembangunan ekonomi (pemanfaatan SDA dan Jasling) kelautan; (3) memelihara kelestarian sumber daya kelautan; (4) pengembangan kapasitas iptek kelautan; dan (5) peningkatan budaya maritim bangsa. Untuk mengakselerasi pembangunan kelautan secara lebih produktif, efisien, inklusif, dan ramah lingkungan, selain Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang sudah ada sejak awal Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid (September 1999) dan dibesarkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri melalui program Gerbang Mina Bahari (Gerakan Nasional Pembangunan Kelautan), Presiden Jokowi juga membentuk Kementerian Koordinator Maritim.
Dalam hal penegakan kedaulatan dan pelestarian, pemerintah telah melaksanakan sejumlah kebijakan yang cukup bagus antara lain pemberantasan illegal fishing, moratorium kapal ikan eks asing, larangan alih muatan ikan di laut (transhipment), larangan penggunaan alat penangkapan ikan yang digunakan oleh mayoritas nelayan kita, dan larangan menangkap lobster, rajungan, dan kepiting ukuran tertentu.
Sayangnya, tidak didahului dengan sosialisasi dan penyiapan alternatif solusinya sehingga kebijakan tersebut justru menyulut demonstrasi nelayan dan pembudi daya ikan di mana-mana, mengakibatkan puluhan ribu nelayan dan pembudi daya menganggur, sentra-sentra industri pengolahan ikan (seperti Belawan, Muara Baru, Benoa, dan Bitung) mengalami mati suri, ribuan ton kerapu dan kepiting soka tidak terjual dan mati membusuk, dan sejumlah dampak negatif lain.
Sementara potensi ekonomi kelautan yang luar biasa besar antara lain perikanan budi daya, industri bioteknologi kelautan, garam, pariwisata bahari, energi terbarukan dari laut (seperti arus, gelombang, dan ocean thermal energy conversion/OTEC), industri dan jasa maritim, dans umber daya wilayah pulau-pulau kecil belum mendapat perhatian memadai. Program ekonomi kelautan yang sekarang dikerjakan pemerintah baru pembangunan pelabuhan dan infrastruktur maritim lainnya, yang sifatnya mengeluarkan uang (APBN), bukan menghasilkan pendapatan negara. Padahal, membangun pelabuhan tanpa dibarengi dengan mengembangkan perekonomian wilayah hanya akan mengakibatkan pelabuhan itu mubazir alias mangkrak.
Program Ekonomi Biru
Sebab itu, mulai sekarang pemerintah bersinergi dengan swasta dan masyarakat harus mengembangkan ekonomi kelautan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (di atas 7%/tahun), berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja dan menyejahterakan rakyat), dan ramah lingkungan secara berkelanjutan (sustainable). Dengan kata lain, program pelestarian dan penegakan kedaulatan tidak seharusnya mematikan ekonomi atau dipertentangkan dengan upaya kita untuk memacu pertumbuhan ekonomi berkualitas, perluasan lapangan kerja, dan peningkatan daya saing bangsa.
Keduanya bisa disinergikan, saling melengkapi melalui aplikasi ekonomi biru (blue economy). Sebuah sistem ekonomi berbasis inovasi yang memanfaatkan SDA secara produktif dan efisien, tidak menghasilkan limbah dan emisi; dan pada saat yang sama mampu menciptakan lapangan kerja, menghasilkan pertumbuhan ekonomi berkualitas, dan tidak memerlukan biaya tinggi (Pauli, 2010). Pada tataran praksis, paradigma ekonomi biru dalam konteks pembangunan kelautan Indonesia meliputi sejumlah kebijakan dan program berikut.
Pertama, penyusunan dan implementasi rencana tata ruang wilayah (RTRW) darat pesisir- laut secara terpadu, yang mengalokasikan sedikitnya 30% dari total ruang wilayah pesisir dan laut untuk kawasan lindung, dan maksimal 70% sisanya untuk kawasan pembangunan. Di dalam kawasan pembangunan inilah kita boleh mengembangkan kawasan pertambakan udang, industri, pariwisata, pertambangan, permukiman, pelabuhan, dan sektor pembangunan lainnya sesuai daya dukung wilayah.
Kedua, revitalisasi (peningkatan produktivitas, efisiensi, dan sustainability) seluruh usaha ekonomi kelautan yang sudah berjalan (existing marine economic sectors), mulai dari usaha perikanan tangkap, perikanan budi daya, pariwisata bahari, perhubungan laut, sampai galangan kapal. Selain itu, kita mesti mengembangkan usahausaha ekonomi kelautan di kawasan pesisir, pulau kecil, dan laut yang belum terbangun.
Ketiga, memperbaiki dan mengembangkan konektivitas maritim yang meliputi: (1) akselerasi pembangunan tol laut (pelabuhan dan kapal laut), dan (2) jaringan informasi dan telekomunikasi.
Keempat, rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut yang telah rusak, pengendalian pencemaran, konservasi keanekaragaman hayati, dan pengayaan stok ikan dan biota laut lainnya untuk memelihara dan meningkatkan daya dukung serta kelestarian SDA dan lingkungan pesisir dan lautan.
Kelima, mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global, tsunami, dan bencana alam lainnya.
Keenam, peningkatan kualitas dan jumlah SDM berbagai bidang kelautan sesuai kebutuhan, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal (pelatihan dan penyuluhan).
Ketujuh, peningkatan penelitian dan pengembangan (R&D) supaya kita mampu menguasai, menghasilkan, dan menerapkan inovasi teknologi dan nonteknologi (seperti business models dan strategi pemasaran) untuk meningkatkan produktivitas, daya saing, dan keuntungan ekonomi kelautan nasional secara berkelanjutan.
Program Quick Wins
Tujuh kebijakan dan program di atas bersifat jangka panjang, yang harus dikerjakan sejak sekarang dan berkesinambungan. Namun, hasilnya baru bisa dinikmati setelah beberapa tahun ke depan. Sebab itu, kita mesti mengembangkan program- program pembangunan ekonomi kelautan yang hasilnya dapat kita rasakan dalam satu atau paling lambat lima tahun mendatang (quick wins).
Pertama, pengembangan 5.000 unit armada kapal ikan nasional berukuran di atas 50 GT dengan alat tangkap yang efisien dan ramah lingkungan untuk memanfaatkan sumber ikan di wilayah-wilayah laut yang selama ini menjadi ajang pencurian ikan (illegal fishing) oleh nelayan asing atau yang masih underfishing seperti Laut Arafura, Laut Banda, Laut Sulawesi, Teluk Tomini, Laut Natuna, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Samudera Hindia dan Pasifik. Kapal-kapal ikan dan nelayan yang selama ini beroperasi di wilayah laut yang telah overfishing seperti perairan pantura dan perairan pantai lainnya harus dilatih supaya mampu beroperasi di wilayah-wilayah laut yang masih underfishing atau laut lepas (oceangoing fisheries). Pemerintah juga harus menjamin pasar bagi seluruh ikan hasil tangkapan nelayan dengan harga sesuai nilai keekonomian (“Bulog Perikanan”). Revitalisasi semua pelabuhan perikanan yang ada, dan pembangunan pelabuhan perikanan baru sesuai kebutuhan.
Kedua, revitalisasi dan pengembangan empat kluster yaitu: budi daya laut (mariculture), tambak udang Vanammei , budi daya tambak ikan bandeng, kakap, nila salin, kepiting soka, dan lainnya dan budi daya rumput laut (Gracillaria spp). Saat ini total luas perairan laut Indonesia yang potensial (cocok) untuk usaha budi daya laut sekitar 24 juta ha. Sedangkan total luas lahan pesisir yang potensial untuk usaha budi daya tambak (perairan payau) adalah 3 juta ha. Dengan empat kluster usaha budi daya laut dan tambak tersebut, setiap tahunnya akan dihasilkan rata-rata sekitar 20 juta ton produk perikanan, USD80 miliar nilai ekonomi, dan lapangan kerja untuk 9 juta orang.
Ketiga, dengan bahan baku dari usaha perikanan tangkap dan perikanan budi daya di atas, kita akan mampu merevitalisasi industri pengolahan hasil perikanan yang saat ini hanya sekitar 50% yang masih beroperasi dari total kapasitas terpasang nasional. Lebih dari itu, dengan bahan baku yang besar itu, kita pun bisa mengembangkan industri pengolahan hasil perikanan di banyak lokasi, terutama di luar Jawa dan Bali.
Keempat, pengembangan industri bioteknologi kelautan yang meliputi: (1) genetic engineering ramah lingkungan untuk menghasilkan bibit dan benih unggul; (2) industri pakan ikan dan ternak berbasis micro algae; (3) ekstraksi senyawa bioaktif dari biota laut untuk bahan baku industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetika, dan lainnya; dan (4) industri biofuel dari micro algae. Potensi ekonomi industri ini diperkirakan empat kali nilai ekonomi industri teknologi informasi (Ministry of Maritime Affairs and Fisheries, Korsel, 2002).
Kelima, revitalisasi dan pengembangan pariwisata bahari dengan cara: (1) pembenahan objek (destinasi) wisata yang ada dan mengembangkan destinasi yang baru; (2) pengembangan jenis-jenis wisata bahari baru secara inovatif (product development); (3) peningkatan aksesibilitas dari dan ke objek wisata melalui transportasi laut, darat maupun udara; (4) pembenahan dan pembangunan infrastruktur dan sarana di dan sekitar lokasi wisata; (5) peningkatan promosi dan pemasaran melalui berbagai media dan ekshibisi baik di dalam maupun luar negeri; dan (6) peningkatan kualitas SDM pariwisata bahari dan kesadaran serta perilaku masyarakat lokal supaya lebih kondusif dan menyenangkan para wisatawan domestik dan mancanegara.
Keenam, revitalisasi dan pengembangan industri dan jasa maritim, khususnya: (1) industri galangan kapal; (2) peralatan dan mesin perikanan (seperti jaring dan alat penangkapan ikan lain, kincir air tambak, dan mesin pabrik industri pengolahan ikan); (3) peralatan dan mesin untuk industri migas serta pertambangan mineral; (4) fibre optics dan kabel laut; (5) perangkat lunak untuk manajemen pelabuhan dan transportasi laut; dan (6) perangkat lunak untuk prediksi lokasi fishing grounds, cuaca, dan kondisi oseanografi.
Ketujuh, pembangunan 21 kawasan industri terpadu berkelas dunia (world class) dengan pola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang inovatif, inklusif, dan ramah lingkungan di wilayah pesisir bagian barat (Sabang, Kuala Tanjung, Teluk Bayur, Bengkulu, Batam, dan Lampung); bagian tengah (Kalbar, Kalsel, Kaltim, dan Kaltara); dan bagian timur NKRI (NTB, NTT, Sulsel, Sulbar, Sulteng, Sultra, Sulut, Maluku, Malut, Papua, dan Papua Barat).
Supaya segenap program pembangunan kelautan jangka panjang maupun quick wins di atas dapat terealisir, pemerintah harus menyediakan skema kredit perbankan khusus dengan bunga yang relatif murah dan persyaratan relatif lunak (bank maritim) seperti yang berlaku di sektor industri kelapa sawit sejak Pemerintahan Orba sampai sekarang dan di negara-negara lain. Selain itu, iklim investasi (seperti perizinan, pajak, ketenagakerjaan, dan keamanan berusaha) serta kebijakan politik-ekonomi harus kondusif bagi tumbuh-kembangnya ekonomi kelautan.
Dengan peta jalan pembangunan kelautan seperti di atas, dari saat ini sebagai negara berpendapatan menengah bawah (GNP/kapita sebesar USD5.000), insya Allah pada 2020 Indonesia akan menjadi negara berpendapatan menengah atas (GNP/ kapita sekitar USD10.000), dan pada 2025 menjadi negara maritim yang besar, maju, adil-makmur, berdaulat, serta sebagai Poros Maritim Dunia dengan GNP/ kapita di atas USD14.00