Mengenal Kebudayaan Masyarakat Pesisir Utara Jawa Timur Dan Madura
Mengenal Kebudayaan Masyarakat Pesisir Utara Jawa Timur Dan Madura
Meski satu provinsi, kebudayaan masyarakat pesisir pantai utara Jawa Timur memiliki karakteristik kebudayaan yang khas di masing-masing wilayah. Minimal ada tiga sub kultur yang dapat ditelusuri di wilayah ini yaitu sub kultur Jawa pesisir, kultur Madura, dan sub kultur Pedalungan sebagai hasil akulturasi etnis Madura yang hidup di wilayah Pulau Jawa.
Etnisitas
Kawasan pesisir barat Jawa Timur banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Kawasan ini mencakup wilayah Tuban, Lamongan, dan Gresik. Dahulu pesisir utara Jawa Timur merupakan daerah masuknya dan pusat perkembangan agama Islam. Lima dari sembilan anggota walisongo dimakamkan di kawasan ini. Meskipun kawasan ini dahulu adalah wilayah kerajaan mataram yang berciri Islam kejawen (sinkretisme), namun karena besarnya pengaruh walisongo, kawasan ini tetap dapat mempertahankan ciri kultur jawa santri, untuk membedakan dikotomi SANTRI-ABANGAN (Clifford Geertz). Sehingga wilayah barat-selatan Jawa Timur dapat dikatakan berciri “abangan”, maka di wilayah pantura Jawa Timur berciri “Santri”.
Demikian pula di kawasan eks-Karesidenan Surabaya (Kota Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang) dan Malang, pengaruh kebudayaan Mataraman sudah tinggal sedikit, mengingat kawasan ini cukup jauh dari pusat kebudayaan Jawa: Surakarta dan Yogyakarta. Namun karena pengaruh santri juga sangat kuat ditambah dengan pusat perkembangan ekonomi utama Jawa Timur, maka wilayah ini dapat dikatakan sebagai Jawa Perkotaan.
Hal yang cukup unik ditemukan di kawasan Jawa Timur bagian timur selatan Pulau Jawa, yang dikenal dengan istilah daerah Tapal Kuda. Adat istiadat di kawasan Tapal Kuda banyak dipengaruhi oleh budaya Madura mengingat besarnya populasi Suku Madura di kawasan ini termasuk bahasanya, sehingga masyarakat di tapal kuda umumnya memiliki kemampuan berkomunikasi dengan dua Bahasa, yaitu Bahasa Jawa dan bahasan Madura. Masyarakat desa di Jawa Timur, umumnya memiliki ikatan yang berdasarkan kekerabatan dan kesamaan teritorial. Berbagai upacara adat yang diselenggarakan antara lain: tingkepan (upacara usia kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama), babaran (upacara menjelang lahirnya bayi), sepasaran (upacara setelah bayi berusia lima hari), pitonan (upacara setelah bayi berusia tujuh bulan), sunatan, pacangan.
Di Kota Surabaya, Suku Jawa adalah suku bangsa mayoritas. Dibanding dengan masyarakat Jawa pada umumnya, Suku Jawa di Surabaya memiliki ciri khas diantaranya memiliki temperamen yang sedikit lebih keras dan egaliter, hal ini dapat dilihat dari logat Bahasa yang terbuka dan kadang terkesan kasar. Salah satu penyebabnya adalah jauhnya Surabaya dari keraton yang dipandang sebagai pusat budaya Jawa. Meskipun Jawa adalah suku mayoritas (83,68%), tetapi Surabaya juga menjadi tempat tinggal berbagai suku bangsa di Indonesia, termasuk suku Madura (7,5%), Tionghoa (7,25%), Arab (2,04%), dan sisanya merupakan suku bangsa lain seperti Bali, Batak, Bugis, Manado, Minangkabau, Dayak, Toraja, Ambon, dan Aceh atau warga asing. Dengan demikian Surabaya merupakan kota multi etnis yang kaya akan budaya. Beragam etnis bermigrasi ke Surabaya. Penduduk pendatang hidup bersama serta membaur dengan penduduk asli membentuk pluralisme budaya yang kemudian menjadi ciri khas kota Surabaya. Inilah yang membedakan kota Surabaya dengan kota-kota di Indonesia. Bahkan ciri khas ini sangat kental mewarnai kehidupan pergaulan sehari-hari. Sikap pergaulan yang sangat egaliter, terbuka, berterus terang, kritik dan mengkritik merupakan sikap hidup yang dapat ditemui sehari-hari. Bahkan kesenian tradisonal dan makanan khasnya mencerminkan pluralisme budaya Surabaya dan sekitarnya.
Sebagai pusat pendidikan, Surabaya juga menjadi tempat tinggal mahasiswa dari berbagai daerah dari seluruh Indonesia, bahkan di antara mereka juga membentuk wadah komunitas tersendiri. Sebagai pusat komersial regional, banyak warga asing (ekspatriat) yang tinggal di daerah Surabaya, terutama di daerah Surabaya Barat.
Budaya
Budaya daerah, tradisi dan gaya hidup yang berbeda di setiap daerah merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk berkunjung. Budaya daerah ini antara lain, kesenian, pakaian adat, upacara adat, gaya hidup, dan kepercayaan.
Budaya Surabaya yang terkenal antara lain Undukan Doro, Musik Patroldan Manten Pegon. Salah satu upaya Pemerintah Kota Surabaya untuk melestarikan budaya kota Surabaya adalah dengan pemilihan Cak dan Ning Surabaya, yaitu duta budaya kota Surabaya
Bahasa Surabaya memiliki dialek khas Bahasa Jawa yang dikenal dengan Boso Suroboyoan. Dialek ini dituturkan di daerah Surabaya dan sekitarnya, dan memiliki pengaruh di bagian timur Provinsi Jawa Timur. Dialek ini dikenal egaliter, blak-blakan, dan tidak mengenal ragam tingkatan bahasa seperti Bahasa Jawa standar pada umumnya. Masyarakat Surabaya dikenal cukup fanatic dan bangga terhadap bahasanya. Tetapi oleh peradaban yang sudah maju dan banyaknya pendatang yang datang ke Surabaya yang telah mencampuradukkan bahasa Suroboyo, Jawa Ngoko dan Madura, bahasa asli Suroboyo sudah punah. Contoh Njegog:Belok, Ndherok:Berhenti, Gog:Paklek/Om, Maklik:Bulek/tante. Dialek Surabayaatau lebih sering dikenal sebagai bahasa Suroboyoan adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Surabaya dan sekitarnya. Dialek ini berkembang dan digunakan oleh sebagian masyarakat Surabaya dan sekitarnya.
Kebudayaan Lamongan dan Gresik banyak dicirikan dengan kebudayaan Islam, yang dikenal dengan kebudayaan SANTRI. Hal ini sangat wajar karena perkembangan Gresik dan Lamongan sekitarnya sangat dipengaruhi oleh kegiatan para penyebar agama Islam, yaitu para sunan, sehingga kebudayaan yang berkembang aalah tradisi Islam yang kemudian berkembang menjadi kesenian khas Gresik.
Pedulungan merujuk pada kelompok sub etnik yang mendiami kawasan Jawa Timur bagian timur tengah Pulau Jawa, yang dikenal dengan istilah daerah tapal Kuda. DinamakanTapal Kuda, karena bentuk kawasan tersebut dalam peta mirip dengan bentuk tapal kuda. Kawasan Tapal Kuda meliputi Pasuruan (bagian timur), Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi.
Masyarakat penghuni tapal kuda mayoritas adalah etnis Madura. Meski ada minoritas etnis Jawa, namun pengaruh Madura yang sangat kuat menyebabkan karakter budaya di wilayah ini lebih beraroma Madura daripada etnis lain. Orang-orang tapal kuda juga sangat identik dengan Islam tradisional yang merujuk pada pengkut organisasi Nahdatul Ulama (NU).
Secara tradisional, kawasan Tapal Kuda merupakan kawasan yang diwarnai nuansa keislaman yang kental. Nahdlatul Ulama mempunyai akar yang sangat kuat diwilayah ini, kendatipun mistisme juga ditemukan utamanya di Banyuwangi. Kendatipun berada di pulau Jawa, namun mayoritas penduduk Tapal Kuda adalah masyarakat Madura atau berbahasa Madura. Tapi anehnya mereka banyak yang enggan disebut Madura dan lebih suka disebut sebagai orang pendhalungan atau campuran, dikarenakan nenek moyang mereka yang merupakan pembauran antara etnis Jawa dan Madura, atau orang Jawa yang dimadurakan
Di Pasuruan, ada cerita rakyat yang populer dengan sebutan ”Sakera”, pembangkang kompeni di ladang tebu Pasuruan yang kemana-mana membawa Clurit. Banyak pula beredar cerita-cerita tentang pahlawan rakyat : Pangeran Situbondo yang patungnya bisa ditemui di Alas Malang, Panarukan (sekarang Situbondo) dan Pangeran Tawang Alun di Jember