LRI i-MAR, PKSPL IPB University, ISIA, AIS serta Universitas Mataram selengarakan KONFERENSI INTERNASIONAL PULAU-PULAU DI DUNIA KE-19 (19th World Islands Conference)

conferen_lombok_1

LRI i-MAR, PKSPL IPB University, ISIA, AIS serta Universitas Mataram selengarakan KONFERENSI INTERNASIONAL PULAU-PULAU DI DUNIA KE-19 (19th World Islands Conference)

Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) Lembaga Riset Internasional Kemaritiman, Kelautan dan Perikanan (LRI i-MAR) IPB University dengan Universitas Mataram, Archipelagic and Islands States Forum (AIS), dan International Small Islands Studies Association (ISISA) dengan dukungan penuh dari International Collaboration Office (ICO) IPB University, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian PPN/Bappenas, PT Amman Mineral Nusa Tenggara, Rekam Nusantara Foundation, dan ClimateWork Centre.

Prof. Yonvitner selaku Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautam IPB menyampaikan bahwa konferensi ini dihadiri oleh 28 negara dan 270 peserta untuk mendiskukan tentang perubahan iklim, ekonomi biru, tata kelola pulau kecil, serta budaya pulau dan kepulauan. Selain diskusi mengenai hasil studi mengenai pulau-pulau, konferensi ini akan mengajak peserta juga untuk merasakan kehidupan dan tradisi masyarakat pulau kecil di Pulau Lombok melalui ekskursi lapang.

Konferensi ini menghadirkan narasumber-narasumber kunci seperti Prof. Luky Adrianto dari Lembaga Riset Internasional Kemaritiman, Kelautan dan Perikanan (LRI i-MAR) IPB University, Prof. Adam Grydehøj dari South China University of Technology, TGH Hasanain Djuaini (Tokoh Masyarakat NTB, pemenang Ramon Magsaysay Award) dan Victor Gustaaf Manoppo M.H dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP untuk menampilkan isu-isu dan agenda-agenda utama dalam studi mengenai pulau di dunia, serta menghadirkan lebih dari 120 presenter dari Indonesia dan negara-negara lainnya untuk memaparkan pengalaman-pengalaman, praktik-praktik baik serta tantangan-tantangan yang dihadapi oleh pulau-pulau dalam menghadapi perubahan baik yang didorong oleh faktor antropogenik maupun alamiah.

Konferensi ini juga dimeriahkan dengan empat side event yang relevan dengan tema utama konferensi pulau-pulau dunia. Kementerian Kelautan dan Perikanan menghadirkan diskusi dengan tema “Tata kelola Pulau Kecil dalam mendukung pelaksanaan Ekonomi Biru,’ kemudian Kementerian Perencanaan Pembangunan/BAPPENAS dengan tema diskusi “Pulau-pulau Kecil dan Konteks Ekonomi Biru.” Sementara itu, ClimateWork Centre of Monash University menggelar tema diskusi “Lautan sebagai Peluang: Meretas Aksi Iklim berbasis Lautan menuju Net Zero dan masa depan berketahanan,” dan Rekam Nusantara memunculkan tema “Ocean Account.”

“Konferensi pulau-pulau dunia yang pertama di Indonesia ini menandakan bahwa Indonesia dan IPB University akan mengambil peran penting di dunia untuk pengembangan studi mengenai pulau-pulau dan berkontribusi pada pencapaian SDG 2030. IPB juga menginginkan kerjasama yang lebih kuat dengan beragam institusi di dunia untuk menjawab tantangan mengenai pembangunan pulau-pulau. Isu perubahan iklim seperti kenaikan air laut, gelombang ekstrim, angin topan dan ancaman-ancaman lain membutuhkan jawaban untuk dijawab, maka diskusi ini diharapkan mampu menghasilkan jawaban dan komitmen-komitmen baru untuk memecahkan masalah. Lombok sendiri memilki tradisi sawen yang mengintegrasikan hutan, pertanian dan perairan. Norma dan prinsip pengelolaan sumberdaya tradisional ini merupakan objek yang sangat berharga bagi kajian dan kebijakan, khususnya di bidang ilmu kelautan,” tegas Prof. Arif Satria selaku Rektor IPB University dalam sambutannya.

Bambang Hari Kusumo selaku Rektor Universitas Mataram juga menyatakan antusiasmenya dalam konferensi ini: “Kami berharap diskusi pada konferensi ini akan menghasilkan buah-buah penting untuk membangun pulau-pulau yang tangguh, kaya akan ekosistem yang sehat dan mensejahterakan masyarakat. Selamat menikmati konferensi dan selamat menikmati Lombok, pulau yang indah ini.” lanjutnya.

Laurie Brinklow selaku presiden ISISA menambahkan: “ISISA adalah organisasi pertama yang mengumpulkan para akademisi, praktisi maupun pemerintah dari negara-negara pulau dan kepulauan untuk membahas dan mempelajari semua aspek dari pulau sepeti geografi, ekologi, budaya, politik, serta model pengelolaan untuk menemukan pemecaahan atas masalah yang sama. ISISA mengajak banyak pihak untuk melihat pulau-pulau sebagai objek kajian yang berbeda karena memiliki karakter yang khas yang disatukan oleh lautan.”

Victor Gustaaf Manoppo, Dirjen PRL mewakili Menteri Kelautan dan Perikanan RI dalam pembukaan konferensi menegaskan bahwa pemerintah Indonesia menilai bahwa perairan Indonesia sangat berharga sekaligus rentan dari aktivitas manusia, perubahan iklim maupun polusi. Ekonomi biru adalah formula untuk menjawab tatntangan tersebut dengan orientasi healthy ocean, wealthy ocean and ocean prosperity.

Pada kesempatan ini juga, Prof Luky Adrianto selaku kepala i-Mar PB University menyampaikan bahwa Indonesia memiliki DNA sebagai negara kepulauan yang membutuhkan kajian transdisiplin mengenai tata kelola dan pemanfaatan keberlanjutan dari mulai aspek land system, sistem perairan hingga circle yang lebih luas yakni sebagai archipelagic system thinking. Apa yang dilingkupi dalam studi transdisiplin ini dicanangkan sebagai Archipelagic Science of Indonesia.

Pada akhirnya, semua pihak berharap bahwa konferensi international ini dapat berkontribusi dan menjadi bagian dari upaya global untuk mengatasi tantangan pembangunan berkelanjutan di negara-negara pesisir dan kepulauan dalam kerangka Dekade Ilmu Pengetahuan Kelautan PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan dan pencapaian agenda SDGs 2030 khususnya SDG 13 climate change dan SDG 14 life below water. (yp).