Kelautan Sebagai Sumber Pertumbuhan Ekonomi Baru

sebagai

Kelautan Sebagai Sumber Pertumbuhan Ekonomi Baru

PRESIDEN Jokowi dan Kabinet Kerja nya mewarisi kondisi perekonomian paradoksal dari sepuluh tahun masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Disebut paradoksal karena dari sisi makroekonomi lumayan bagus. Rata-rata pertumbuhan ekonomi sekitar 5,8% per tahun, PDB US$1 triliun (nomor 10 besar dunia), dan jumlah kelas menengah mencapai 65 juta orang. Namun, dari sisi mikroekonomi dan kehidupan riil masyarakat masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Berdasarkan pada garis kemiskinan versi BPS, sekitar 28,3 juta orang atau 11% penduduk masih miskin; 7,3 juta penduduk usia kerja menganggur penuh dan 36 juta orang setengah menganggur; kesenjangan kaya vs miskin kian melebar; disparitas pembangunan antarwilayah sangat timpang; dan daya saing serta indeks pembangunan manusia (IPM) rendah.

Selain itu, proses deindustrialisasi sangat mencemaskan. Deindustrialisasi itu ditengarai sebagai `biang kerok’ dari semakin membeludaknya orang yang bekerja di sektor informal. Bila pada 2004 jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor informal sekitar 45% dari total angkatan kerja, pada 2014 membengkak menjadi 61%.

Karena itu, Presiden Jokowi d a n Wa p r e s J u s u f K a l l a bersama partai pengusung (PDI Perjuangan) dan partai pendukungnya (NasDem, PKB, Hanura, dan PKPI) sejak masa kampanye sampai terbentuknya Kabinet Kerja telah menyusun sejumlah kebijakan dan program pembangunan yang pada intinya berdasarkan pada Trisakti, yakni berdaulat di bidang politik, mandiri dan maju di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan.

Dalam tataran praksis, mewujudkan kemajuan, kesejahteraan, dan kemandirian di bidang ekonomi dilakukan dengan cara 1) merevitalisasi (peningkatan produktivitas, daya saing, dan sustainability) seluruh sektor ekonomi yang ada (existing economic sectors) dan 2) mengembangkan sektor-sektor ekonomi baru yang lebih produktif dan kompetitif.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang tiga perempat wilayahnya berupa laut dengan kekayaan SDA dan jasajasa lingkungan (environmental services) yang sangat besar, ekonomi kelautan merupakan keunggulan komparatif yang dapat ditransformasi menjadi keunggulan kompetitif dan sumber pertumbuhan ekonomi baru bagi Indonesia. Karena itu, sangat tepat dan benar bila Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla memprioritaskan pembangunan ekonomi kelautan untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia (PMD). Yakni, sebuah Indonesia yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis pada ekonomi kelautan, hankam, dan budaya maritim.Konstruksi PMD Dengan mengacu kepada visi Presiden Jokowi tentang PMD di atas, pada dasarnya ada lima kelompok kebijakan dan program utama yang mesti dikerjakan, 1) penegakan kedaulatan NKRI, termasuk penuntasan batas wilayah laut, pemberantasan illegal fishing dan berbagai kegiatan ilegal lainnya; 2) pembangunan ekonomi kelautan; 3) memelihara kelestarian sumber daya kelautan; 4) pengembangan kapasitas IPTEK kelautan; dan 5) peningkatan budaya maritim bangsa.

Untuk mengakselerasi pembangunan kelautan secara lebih produktif, efisien, inklusif, dan ramah lingkungan, selain Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang sudah ada sejak awal pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid (September 1999) dan dibesarkan Presiden Megawati Soekarnoputri melalui program Gerbang Mina Bahari (Gerakan Nasional Pembangunan Kelautan), Presiden Jokowi juga membentuk Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.

Dalam hal penegakan kedaulatan dan pelestarian, pemerintah telah melaksanakan sejumlah kebijakan yang cukup bagus, antara lain pemberantasan illegal fishing, moratorium kapal ikan eks asing, larangan alih muatan ikan di laut (transhipment), larangan penggunaan alat penangkapan ikan oleh mayoritas nelayan kita, dan larangan menangkap lobster, rajungan, dan kepiting ukuran tertentu. Namun, karena tidak didahului dengan sosialisasi dan penyiapan alternatif solusinya, kebijakan tersebut justru menyulut demonstrasi nelayan dan pembudi daya ikan di manamana, mengakibatkan ratusan ribuan nelayan dan pembudi daya menganggur, sentra-sentra industri pengolahan ikan (seperti Belawan, Muara Baru, Benoa, dan Bitung) mengalami mati suri, ribuan ton kerapu dan kepiting soka tidak terjual dan mati membusuk, dan sejumlah dampak negatif lainnya.

Sementara itu, potensi ekonomi kelautan yang luar biasa besar seperti perikanan budi daya, industri bioteknologi kelautan, garam, pariwisata bahari, energi terbarukan dari laut, industri dan jasa maritim, dan sumber daya wilayah pulau-pulau kecil belum mendapat perhatian memadai. Program ekonomi kelautan yang sekarang dikerjakan pemerintah baru pembangunan pelabuhan dan infrastruktur maritim lainnya, yang sifatnya mengeluarkan uang (APBN), bukan menghasilkan pendapatan negara. Padahal, membangun pelabuhan tanpa dibarengi dengan mengembangkan perekonomian w i l a y a h hanya akan mengakibatkan pelabuhan itu mubazir alias mangkrak.

Program ekonomi biru Karena itu, mulai sekarang pemerintah bersinergi dengan swasta dan masyarakat harus mengembangkan ekonomi kelautan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (di atas 7%/tahun), berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja dan menyejahterakan rakyat), dan ramah lingkungan secara berkelanjutan (sustainable). Dengan kata lain, program pelestarian dan penegakan kedaulatan tidak seharusnya mematikan ekonomi atau dipertentangkan dengan upaya kita untuk memacu pertumbuhan ekonomi berkualitas. Keduanya bisa disinergikan, saling melengkapi melalui aplikasi ekonomi biru (blue economy).

Pada tataran praksis, paradigma ekonomi biru dalam konteks pembangunan kelautan Indonesia meliputi sejumlah kebijakan dan program berikut.

Pertama, penyusunan dan implementasi rencana tata ruang wilayah (RTRW) darat-pesisir-laut secara terpadu, yang mengalokasikan sedikitnya 30% dari total ruang wilayah pesisir dan laut untuk kawasan lindung, dan maksimal 70% sisanya untuk kawasan pembangunan.

Kedua, revitalisasi seluruh usaha ekonomi kelautan yang sudah berjalan (existing marine economic sectors) mulai usaha perikanan tangkap, perikanan budi daya, pariwisata bahari, perhubungan laut, sampai galangan kapal. Hal itu dapat diwujudkan dengan menerapkan lima prinsip ekonomi biru pada setiap usaha ekonomi kelautan, 1) skala ekonomi, 2) manajemen rantai suplai terpadu (produksi­processing­pemasaran), 3) teknologi inovatif pada setiap mata rantai sistem bisnis, 4) inklusif dengan melibatkan masyarakat lokal, dan 5) ramah lingkungan.

Ketiga, dengan mengaplikasikan kelima prinsip ekonomi itu, kita kembangkan berbagai sektor (usaha) ekonomi kelautan baru seperti industri bioteknologi kelautan, industri nanoteknologi kelautan, energi terbarukan dari laut, deep-sea water industry, deep sea mining, dan coastal and ocean engineering. Selain itu, kita mesti mengembangkan usaha-usaha ekonomi kelautan di kawasan pesisir, pulau kecil, dan laut yang belum terbangun.

Ke e m p a t , m e m p e r b a i k i dan mengembangkan konektivitas maritim yang meliputi 1) akselerasi pembangunan tol laut (pelabuhan dan kapal laut) dan 2) jaringan informasi dan telekomunikasi. Ini sangat urgen untuk menjamin kelancaran, kecepatan, dan keamanan aliran barang dan penumpang di seluruh wilayah NKRI.

Kelima, rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut yang telah rusak, pengendalian pencemaran, konservasi keanekaragaman hayati, dan pengayaan stok ikan dan biota laut lainnya untuk memelihara dan meningkatkan daya dukung serta kelestarian SDA dan lingkungan pesisir dan lautan. Keenam, mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global, tsunami, dan bencana alam.

Ketujuh, peningkatan kualitas dan jumlah SDM berbagai bidang kelautan sesuai dengan kebutuhan, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal (pelatihan dan penyuluhan). Kedelapan, peningkatan penelitian dan pengembangan (R & D) supaya kita mampu menguasai, menghasilkan, dan menerapkan inovasi teknologi dan nonteknologi untuk meningkatkan produktivitas, daya saing, dan keuntungan ekonomi kelautan nasional secara berkelanjutan.

Kesembilan, memperbaiki dan mengembangkan kerja sama internasional di berbagai bidang kelautan untuk secara bersama dapat memanfaatkan laut beserta SDA yang terkandung di dalamnya bagi kemajuan, kesejahteraan, dan perdamaian bersama secara berkelanjutan.Program quick wins Kesembilan kebijakan dan program di atas bersifat jangka panjang, hasilnya baru bisa dinikmati setelah beberapa tahun ke depan.Karena itu, kita mesti mengembangkan program-program pembangunan ekonomi kelautan yang hasilnya dapat kita rasakan dalam satu atau paling lambat lima tahun mendatang (quick wins).

Pertama, pengembangan 5.000 unit armada kapal ikan nasional berukuran di atas 50 GT dengan alat tangkap yang efisien dan ramah lingkungan untuk memanfaatkan sumber ikan di wilayah-wilayah laut yang selama ini menjadi ajang pencurian ikan (illegal fishing) oleh nelayan asing atau yang masih underfishing seperti Laut Arafura, Laut Banda, Laut Sulawesi, Teluk Tomini, Laut Natuna, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Samudra Hindia dan Pasifik.Kapal-kapal ikan dan nelayan yang selama ini beroperasi di wilayah laut yang telah overfishing, seperti perairan pantura dan perairan pantai lainnya, harus dilatih supaya mampu beroperasi di wilayah-wilayah laut yang masih underfishing atau laut lepas (ocean-going fisheries).

Kedua, revitalisasi dan pengembangan budi daya laut. Saat ini total luas perairan laut Indonesia yang potensial (cocok) untuk usaha budi daya laut sekitar 24 juta ha, sedangkan total luas lahan pesisir yang potensial untuk usaha budi daya tambak (perairan payau) 3 juta ha. Dengan keempat cluster usaha budi daya laut dan tambak tersebut, setiap tahunnya akan dihasilkan rata-rata sekitar 20 juta ton produk perikanan, US$80 nilai ekonomi, dan lapangan kerja untuk 9 juta orang.

Ketiga, dengan bahan baku dari usaha perikanan tangkap dan perikanan budi daya di atas, kita akan mampu merevitalisasi industri pengolahan hasil perikanan yang saat ini beroperasi hanya sekitar 50% dari total kapasitas terpasang nasional. Dengan bahan baku yang besar itu, kita pun bisa mengembangkan industri pengolahan hasil perikanan di banyak lokasi, terutama di luar Jawa dan Bali.

Ke e m p a t , p e n g e m b a n g a n i n d u s t r i bioteknologi kelautan yang meliputi 1) genetic engineering ramah lingkungan untuk menghasilkan bibit dan benih unggul; 2) industri pakan ikan dan ternak berbasis micro-algae; 3) ekstraksi senyawa bioaktif dari biota laut untuk bahan baku industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetika, dan lainnya; dan 4) industri biofuel dari micro-algae. Potensi ekonomi industri tersebut diperkirakan empat kali nilai ekonomi industri teknologi informasi (Ministry of Maritime Affairs and Fisheries, Korsel, 2002).

Kelima, revitalisasi dan pengembangan pariwisata bahari dengan cara 1) pembenahan objek (destinasi) wisata yang ada dan pengembangan destinasi baru; 2) pengembangan jenis-jenis wisata bahari baru secara inovatif; 3) peningkatan aksesibilitas dari dan ke objek wisata melalui transportasi laut, darat, maupun udara; 4) pembenahan dan pembangunan infrastruktur dan sarana di dan sekitar lokasi wisata; 5) peningkatan promosi dan pemasaran melalui berbagai media dan ekshibisi baik di dalam maupun luar negeri; dan 6) peningkatan kualitas SDM pariwisata bahari dan kesadaran serta perilaku masyarakat lokal supaya lebih kondusif dan menyenangkan para wisatawan domestik serta mancanegara.

Keenam, revitalisasi dan pengembangan industri dan jasa maritim, khususnya 1) industri galangan kapal; 2) peralatan dan mesin perikanan (seperti jaring dan alat penangkapan ikan lain, kincir air tambak, dan mesin pabrik industri pengolahan ikan); 3) peralatan dan mesin untuk industri migas serta pertambangan mineral; 4) fibre optics dan kabel laut; 5) perangkat lunak untuk manajemen pelabuhan dan transportasi laut; dan 6) perangkat lunak untuk prediksi lokasi fishing grounds, cuaca, dan kondisi oseanografi.

Ketujuh, pembangunan 21 kawasan industri terpadu berkelas dunia (world class) dengan pola kawasan ekonomi khusus (KEK) yang inovatif, inklusif, dan ramah lingkungan di wilayah pesisir bagian barat (Sabang, Kuala Tanjung, Teluk Bayur, Bengkulu, Batam, dan Lampung); bagian tengah (Kalbar, Kalsel, Kaltim, dan Kaltara); dan bagian timur NKRI (NTB, NTT, Sulsel, Sulbar, Sulteng, Sultra, Sulut, Maluku, Malut, Papua, dan Papua Barat).

Dengan peta jalan pembangunan kelautan seperti di atas, insya Allah pada 2020 Indonesia akan menjadi negara berpendapatan menengah-atas (GNP/ kapita sekitar US$7.500), dan pada 2025 menjadi negara maritim yang besar, maju, adil-makmur, dan berdaulat serta sebagai poros maritim dunia dengan GNP/kapita di atas US$14.000.