Iptek, Imtak, Dan Kemajuan Bangsa
Iptek, Imtak, Dan Kemajuan Bangsa
Sejatinya, Indonesia memiliki potensi (modal dasar) pembangunan yang sangat lengkap untuk menjadi bangsa yang maju, sejahtera, dan berdaulat. Kekayaan alam yang beragam dan melimpah, baik yang di daratan, apalagi di lautan.
Jumlah penduduk 255 juta jiwa, terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan AS merupakan human capital dan potensi pasar domestik yang luar biasa besar. Posisi geoekonomi Indonesia juga sangat strategis, di mana 45 persen dari seluruh barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai 1.500 triliun dolar AS per tahun diangkut ribuan kapal melalui laut Indonesia (UNCTAD, 2012).
Namun, sudah 70 tahun merdeka, Indonesia masih sebagai negara berkembang berpendapatan menengah-bawah dengan angka pengangguran dan kemiskinan yang masih tinggi, kesenjangan kelompok kaya versus miskin kian melebar, dan daya saing serta IPM (indeks pembangunan manusia) yang rendah. Tingkat kemajuan dan kemakmuran Indonesia jauh di bawah negara tetangga (Jepang, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Cina, dan Thailand) yang potensi pembangunannya lebih kecil.
Banyak faktor yang menyebabkan kinerja pembangunan Indonesia tertinggal. Salah satu faktor terpenting adalah rendahnya kapasitas iptek dan inovasi bangsa kita. Padahal, sejarah dan fakta empiris membuktikan, kemajuan dan kemakmuran suatu bangsa sejak zaman keemasan Romawi, umat Islam (Fatukh Makah 657 M hingga Revolusi Industri 1752 M) sampai peradaban kapitalisme Barat sekarang sangat bergantung pada kemampuan suatu bangsa dalam menguasai, menghasilkan, dan menerapkan iptek dalam kiprah kehidupannya.
Dengan kapasitas iptek dan inovasi yang tinggi, 34 negara industri maju nan makmur (bangsa Eropa, Amerika, Jepang, dan Korea) yang tergabung dalam OECD telah mampu memproduksi segenap barang dan jasa berdaya saing tinggi untuk memenuhi kebutuhan domestik dan ekspor secara berkelanjutan. Iptek dan inovasi telah memberikan kemakmuran dan kejayaan bagi mereka.
Sayangnya, para pemimpin dan elite politik kita kurang serius membangun pendidikan, penelitian, dan pengembangan (R&D), daya kreativitas, dan inovasi bangsa. Hal ini tecermin dari rendahnya anggaran pembangunan ristek (riset dan teknologi) Indonesia yang hanya 0,08 persen dari PDB. Negara-negara OECD, Cina, Singapura, dan Malaysia menggelontorkan dana untuk ristek di atas tiga persen dari PDB.
Penghargaan para pemimipin, elite politik, dan bahkan masyarakat kepada para peneliti, ilmuwan, dosen, dan guru pun umumnya sangat rendah. Tak ayal, bila kapasitas iptek dan daya inovasi bangsa Indonesia hingga saat ini masih begitu rendah. Atas dasar indeks kapasitas teknologi, UNESCO (2012) mengklasifikasikan negara-negara menjadi empat kelompok.
Pertama, technology innovator countries terdiri atas negara anggota OECD. Kedua, technology implementer countries (seperti Singapura, Malaysia, Cina, Brasil, India, Afrika Selatan, Cile, Turki, Iran, Uni Emirat Arab, dan Qatar). Ketiga, technology adaptor countries meliputi 63 negara, termasuk Indonesia yang di peringkat 60 dalam kelompok negara kasta ketiga ini. Keempat, technologically marginalized countries terdiri dari negara-negara miskin di Afrika, Pasifik Selatan, Amerika Latin, dan Asia Selatan. Daya inovasi bangsa Indonesia pun tergolong rendah, hanya di peringkat 85 dari 142 negara yang disurvei (Cornell University, Insead, and WIPO, 2013).
Untuk mengembangkan kapasitas iptek dan inovasi, mulai sekarang kita harus memperbaiki bidang pendidikan, R&D, dan kesehatan. Di bidang pendidikan, pemerintah dengan program Kartu Pintar-nya harus mampu membuat semua anak dan remaja bisa menyelesaikan jenjang pendidikan SLTA. Sesuai bakat dan keinginan masing-masing anak serta kemampuan ekonomi orang tua, sebagian lulusan SLTA itu bisa langsung bekerja, sebagian yang lain melanjutkan ke politeknik (sekolah vokasi), dan sebagian lainnya meneruskan program S-1, S-2 bahkan ke S-3 di dalam maupun luar negeri.
Pemerintah mesti memiliki master plan untuk mengatur proporsi jumlah lulusan SLTA yang boleh langsung bekerja, melanjutkan ke politeknik, ke S-1, S-2, atau S-3. Demikian pula perihal proporsi bidang keahlian (program studi) para lulusan di setiap jenjang pendidikan. Bidang keahlian yang mesti diprioritaskan adalah yang dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing bangsa serta menunjang terwujudnya kedaulatan pangan, energi, farmasi, hankam, dan barang dan jasa lain yang menjadi kebutuhan pokok manusia.
Master plan semacam ini sangat penting untuk menghasilkan tenaga kerja yang memiliki kompetensi (pengetahuan dan keahlian) mumpuni dan berkelas dunia, etos kerja unggul, dan akhlak mulia. Para lulusan (SDM) yang bekerja di pemerintahan, swasta, koperasi maupun sebagai wirausaha memiliki produktivitas, kapasitas inovasi, dan daya saing tinggi serta mampu menggerakkan roda perekonomian dan pembangunan bangsa sebagaimana di negara-negara maju.
Sistem dan mekanisme kerja R&D harus mampu mentransformasi bangsa Indonesia dari selama ini sebagai pembeli teknologi menjadi inovator dan produsen teknologi. Untuk itu, pemerintah mesti memiliki roadmap pembangunan ristek yang tepat dan benar serta diimplementasikan secara berkesinambungan.
Prasarana dan sarana R&D harus diperbaiki dan dikembangkan, kualitas dan kesejahteraan para peneliti mesti ditingkatkan, dan suasana serta iklim kerjanya harus dibuat lebih kondusif bagi tumbuh-kembangnya kreativitas dan daya inovasi. Semua ini tentu memerlukan dukungan dana ristek yang cukup, sedikitnya tiga persen dari PDB.
Sesungguhnya banyak hasil temuan peneliti Indonesia yang bagus dan bermanfaat, tetapi hampir semuanya hanya berakhir pada prototipe atau tulisan ilmiah. Sangat sedikit yang menjadi produk teknologi komersial yang laku di pasar domestik atau global.
Itulah sebabnya, lebih dari 75 persen jenis teknologi yang kita gunakan masih berupa produk impor. Karena itu, kerja sama segitiga antara peneliti, swasta (industri), dan pemerintah harus diperkuat dan dikembangkan secara lebih produktif dan sinergis. Pemerintah dan swasta berkewajiban untuk scaling up (mengindustrikan) beragam hasil temuan peneliti dari yang bersifat skala laboratorium (prototipe) menjadi teknologi (berupa produk baru, teknologi proses, teknologi rekayasa, model bisnis dan manajemen, atau rekayasa sosial).
Pemerintah perlu memberikan insentif dan penghargaan kepada pengusaha nasional maupun asing yang mau mengindustrikan hasil temuan peneliti kita menjadi produk teknologi komersial untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dan mancanegara.
Peningkatan imtaq
Akar dari semua masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan adalah perilaku hidup manusia kapitalis yang sangat konsumtif (boros), hedonis, serakah, dan tidak peduli sesama. Sikap dan perilaku hidup kapitalis yang sangat destruktif ini tecermin dari tingkat konsumsi pangan, energi, air, dan mineral penduduk di negara-negara industri maju (OECD) yang mencapai 4-70 kali lipat penduduk di negara-negara miskin.
Warga negara-negara industri maju juga mengeluarkan gas rumah kaca puluhan kali lipat ketimbang mereka di negara-negara berkembang. Contohnya, penduduk AS membuang emisi CO2 ke atmosfer rata-rata 20 ton per hari dan Jerman 10 ton per hari. Sedangkan, Indonesia, India, dan Kamerun berturut-turut hanya 1,5 ton, 1 ton, dan 0,2 ton per hari (IPCC, 2013).
Menurut Pokja Ilmuwan Redefining Progress, Harvard University (2002), diperlukan delapan bumi untuk menunjang gaya hidup manusia yang konsumtif dan hedonis seperti yang diperagakan oleh kaum kapitalis di negara-negara OECD. Gaya hidup konsumtif, serakah, dan tak peduli sesama ini karena mereka tidak percaya kehidupan akhirat yang hakiki dan abadi.
Mereka yakin, hidup manusia itu hanya di dunia fana. Setelah mereka wafat, ya sudah, hanya jadi tanah. Tidak ada iman di hati mereka bahwa di alam akhirat mereka akan dihidupkan kembali dan akan dihitung (hisab) amal perbuatannya selama hidup di dunia.
Maka, selain unggul di bidang iptek, bangsa Indonesia harus lebih meningkatkan imtaq (iman dan taqwa) menurut agama masing-masing. Islam mengajarkan, hanya orang beriman dan bertaqwalah yang akan hidup sukses dan bahagia di dunia sampai akhirat (QS 3: 133).
Allah SWT juga menjamin, “Jika suatu bangsa (penduduk) suatu negara itu beriman dan bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan melimpahkan berkah (kemajuan, kesejahteraan, dan kedamaian) yang datangya dari langit dan bumi …” (QS 7: 96).
Mengapa demikian? Karena, orang yang beriman dan bertaqwa pasti akan mencegah dirinya dan sesama insan dari semua perbuatan munkar, kejahatan, dan maksiat. Dan, mereka akan menyeru diri dan sesama umat manusia untuk bekerja keras dan ikhlas, mencintai dan menuntut ilmu, profesional, memelihara lingkungan hidup, peduli dan berbagi kepada sesama, dan kebajikan serta amal saleh lainnya.