Degradasi Lingkungan Dan Ancamannya

degradasi

Degradasi Lingkungan Dan Ancamannya

Akibatnya, permintaan konsumsi akan barang dan jasa menjadi se­makin bertambah, ter­masuk barang dan jasa yang berbasis sumberdaya alam dan lingkungan. Sebagai contoh, konsekuensi dibukanya peluang investasi terhadap barang dan jasa berbasis sumberdaya hutan telah memaksa Pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Sejak dike­luarkannya HPH tersebut, maka proses pembabatan dan perusakan hutan yang disusul dengan peru­sakan lapisan tanah subur paling atas di berbagai daerah di Indone­sia semakin menjadi. Hal ini disin­yalir akibat adanya target investor untuk dapat mengembalikan dana investasi yang telah dikeluarkan­nya, termasuk dana perijinan HPH. Para investor cenderung larut un­tuk mengejar keuntungan jangka pendek akibat waktu pengelolaan yang diberikan sangat terbatas.

Ironisnya, degradasi sum­berdaya hutan ini dikambinghi­tamkan kepada peladang ber­pindah yang berada di daerah pedalaman. Padahal selama ra­tusan atau bahkan ribuan tahun mereka telah melakukan kegiatan ladang berpindah ini. Kendati yang dilakukan juga salah, akan tetapi areal pembabatannya rela­tif terbatas dan kerusakan yang ditimbulnya secara alami dan si­multan terpulihkan oleh waktu. Berbeda dengan para investor pemegang HPH, eksploitasi hu­tan yang dilakukan lebih bersi­fat permanen dan pemulihan­nya membutuhkan waktu yang lama. Investor ini membuka atau membabat hutan dengan beragam peralatan berat yang bukan hanya merusak tanaman kecil yang ada, tetapi juga membuat areal tanah di sekitarnya menjadi sembrawut. Yang paling parah adalah adanya moral hazard manusia yang den­gan sengaja membakar hutan untuk kepentingan dan keuntun­gan pribadi, terutama bilamana berkaitan dengan upaya peng­hindaran biaya operasional land clearing yang kebablasan. Tragedi “asap mematikan” yang menimpa Jambi dan Riau misalnya meru­pakan buah tangan manusia yang tidak bertanggungjawab dan me­renggut ratusan nyawa.

Bisnis permukiman dan akti­vitas investasi lainnya di wilayah pesisir juga telah mengkonversi kawasan hutan mangrove men­jadi peruntukan lain. Padahal kawasan hutan mangrove secara ekologi diantaranya berperan se­bagai daerah pensuplai anakan ikan, udang dan kepiting serta per­lindungan alami abrasi. Rusaknya hutan mangrove di wilayah pesisir Indonesia juga telah menuai ben­cana. Abrasi pantai yang terjadi akibat habisnya hutan mangrove telah mengancam wilayah teritori­al, keselamatan dan penghidupan rakyat Indonesia. Tidak sedikit rumah dan harta rakyat tersapu ombak yang mengikis pantai sep­erti yang terjadi di Indramayu beberapa tahun lalu. Selain itu, habisnya hutan mangrove dis­inyalir juga menyumbang peran terhadap hilangnya pulau-pulau kecil di beberapa wilayah pesisir Indonesia, seperti yang terdapat di Kepulauan Riau beberapa waktu lalu. Kontribusi kerusakan sumberdaya pesisir dan laut juga diberikan oleh gundulnya hutan di daerah hulu. Muatan sedimen yang diangkut air sungai dan ber­muara di laut berpengaruh terha­dap ekosistem padang lamun dan terumbu karang dan berdampak turunan terhadap kualitas dan kuantitas sumberdaya ikan yang selama ini menjadi sumber peng­hidupan masyarakat pesisir.

Maraknya industri pertamban­gan di Indonesia juga berdampak negatif terhadap kualitas dan daya dukung lingkungan. Tidak sedikit aktivitas pertambangan menye­babkan pencemaran sungai dan perairan laut serta membahayakan biota perairan dan kesehatan ma­nusia. Beberapa kasus pembuan­gan limbah atau residu ekstraksi sumberdaya non renewable ini telah menambah perbendaharaan wacana tentang pentingnya men­gantisipasi bahaya ancaman de­gradasi sumberdaya alam dan ling­kungan di Indonesia, disamping kasus-kasus ancaman degradasi SDA seperti diungkapkan di muka.

Kredit Merah bagi SDA Indonesia

Seorang rimbawan Mochtar Lubis pernah mengemukakan bah­wa sumberdaya hutan Indonesia berada dalam kondisi yang tera­mat sangat kritis dan kepadanya disematkan kredit merah. Hal ini sungguh harus dicermati secara komprehensif sebelum berdampak dan mendatangkan kerugian bagi manusia. Artinya bahwa sumber­daya hutan harus dikelola dan ti­dak dipandang sebagai materi yang dapat dieksploitasi saja. Akan teta­pi juga harus dipandang sebagai suatu milik bersama yang bernilai positif dan kompetitif yang harus dikelola dan dijaga kelestariannya agar tetap dapat memberikan man­faat bagi makhluk hidup yang ada di sekitarnya, termasuk manusia.

Kredit ini menurut hemat pen­ulis juga perlu disematkan kepada kondisi sumberdaya pesisir dan laut di Indonesia. Sumberdaya terumbu karang Indonesia yang seluas lebih kurang 50.000 km2, ternyata hanya sekitar 6 persen saja yang dianggap masih sangat baik. Demikian halnya dengan keberadaan hutan mangrove, dari sepanjang lebih kurang 1.000 kilometer garis pantai utara P. Jawa misalnya, tidak lebih dari 20 persen saja yang daerahnya masih ditumbuhi pohon mangrove, sele­bihnya telah beralih fungsi men­jadi peruntukan lain. Dampak­nya sangat dirasakan oleh nelayan yang daerah operasinya berada di sekitar Laut Jawa. Dewasa ini, mereka sudah relatif sukar mem­peroleh hasil tangkapan optimal. Jikapun ingin mendapatkan ha­sil tangkapan yang lebih banyak, mereka harus memperpanjang jarak tangkapan yang tentunya juga akan berpengaruh terhadap tingginya biaya operasi, sehingga pendapatan yang diperolehpun belum tentu optimal.

Fenomena alam telah menun­jukkan bahwa sumberdaya alam dan lingkungan Indonesia relatif pantas diberi kredit merah. Mun­culnya berbagai musibah akibat alam yang telah melanda Indo­nesia dewasa ini, seperti longsor, banjir, kekeringan, erosi, abrasi, kebakaran hutan, penyakit, dan pencemaran, merupakan buah dari “ketidakperdulian” adanya an­caman degradasi lingkungan. Akar permasalahan sebenarnya terletak pada kurang ramahnya manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Ketidakramahan ma­nusia ini tercermin dari maraknya illegal logging, illegal fishing, tum­pang tindih kebijakan, tumpang tindih dan kesalahan land use, dan sebagainya. Kesemuanya ber­muara kepada timbulnya biaya ko­rbanan yang jauh lebih besar bagi manusia ketimbang manfaat yang sesaat dan tidak mempertimbang­kan aspek keberlanjutan, baik se­cara ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan. Kasus kebakaran hutan yang terjadi di Riau dan Jam­bi merupakan tragedi besar yang menghadirkan kerugian ekologi, ekonomi dan sosial yang sangat be­sar dan tak ternilai harganya.

Rekomendasi

Sekarang, apa yang dapat kita lakukan untuk mengantisi­pasi dampak ancaman degradasi sumberdaya seperti dikemukakan di atas ? Untuk saat ini agaknya resiko alam memang sudah diha­dapi. Akan tetapi, untuk jangka ke depan, ada baiknya jika kita mu­lai memikirkan langkah-langkah pemulihan. Pertama, yang harus dilakukan adalah dengan mengem­balikan fungsi kawasan sesuai pe­runtukannya berbasis dinamika spasial (land use based spatial dynamics). Penataan kembali ka­wasan-kawasan lindung, penyang­ga dan pemanfaatan seyogianya menjadi prioritas kebijakan yang harus segera diimplementasikan terutama sesuai dengan kebutuhan daya dukung dan daya tampung ruang serta disesuaikan dengan pendekatan pengelolaan berbasis sistem sosial-ekologi (social ecolog­ical system, SES). Kedua, hutan-hutan yang sudah gundul di daerah hulu dan sepanjang daerah aliran sungai (DAS) harus segera direbois­asi dan dikembalikan fungsinya sebagai kawasan lindung dan sem­padan sungai. Tentu saja hal ini tidak mudah, akan tetapi pendeka­tan pola kerjasama pemerintah, swasta, dan masyarakat (public, private, people partnership, P4) dapat diimplementasikan dengan kombinasi penerapan PES (pay­ment for ecosystem services, PES).

Ketiga, merekonstruksi kebi­jakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, seperti hak pengelolaan hutan (HPH), fishing right dan sumberdaya lainnya agar dapat berfungsi efektif dan efisien secara ekologi dan sosial ekono­mi. Namun demikian, kebijakan ini harus juga dibarengi dengan kebijakan pemberian insentif dan disinsentif (carrot and stick) ter­hadap sistem pengelolaan yang di­lakukan disamping beberapa pun­gutan dasar seperti pajak, dana lingkungan dan pengembangan kawasan misalnya.