Webinar-1: Angkat Isu Coastal And Marine Pollutan
Webinar-1: Angkat Isu Coastal And Marine Pollutan
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University adakan Webinar “Coastal and Marine Pollutan, (15/5). Hadir sebagai pembicara yaitu Dr Agung Dhamar Syakti, Dekan Universitas Maritim Raja Ali Haji dan Dr Ario Damar, dosen IPB University yang juga Kepala PKSPL serta Dr Ruddy Suwandi, dosen IPB University yang juga Sekretaris PKSPL sebagai moderator. Webinar ini dihadiri puluhan peserta dari berbagai bidang.
Emerging pollutan merupakan suatu senyawa yang tidak dapat digambarkan secara akurat sebagai kontaminan atau polutan karena memungkinkan telah ada secara alami atau keberadaannya di lingkungan. Ini menjadi concern baru terkait konsentrasi serta dampaknya terhadap biota dan ekosistem. Salah satu yang sebelumnya belum diperhatikan dan sekarang menjadi perhatian besar adalah pencemaran plastik, khususnya mikroplastik.
Pada perairan laut Dr Agung Dhamar Syakti menjelaskan bahwa sebagian besar 80 persen marine litter adalah plastik. Mikroplastik yang juga merupakan marine litter telah diteliti sejak tahun 1980 di Indonesia. Terminologi mikroplastik merujuk pada plastik berukuran 50-5000 um. Sumber utama mikroplastik berasal dari pelet mikroplastik dan microbead pada produk personal care dan kosmetik. Sumber kedua berasal dari fragmentasi makroplastik.
“Mikroplastik diproduksi dengan dua cara yaitu sintetis polimer dan biopolimer. Yang sintetis polimer ini ada termoplastik seperti polyetilen, PVC, botol minum dan sebagainya. Pada industri plastik memerlukan biji plastik dalam bentuk pelet, yang dalam prakteknya bisa saja terbuang ke lingkungan. Atau karena adanya radiasi ultraviolet atau gerakan mekanik di laut bahkan digigit organisme laut sehingga ukurannya teremahkan,” urainya.
Menurutnya, mikropalstik menjadi emerging pollutan karena ternyata memang ada dan banyak sekali di lingkungan laut. Sumber terbanyak berasal dari sintesis tekstil dari serat nylon, polyester. Polyetilen yang ada di pakaian kita dapat ter-rilis ketika dicuci kemudian masuk ke selokan air dan berujung ke perairan laut. Hampir 35 persen fiber-fiber ini ditemukan di perairan laut yang paling banyak berasal dari industri pencucian dan tekstil,” tuturnya.
Mikroplastik dapat memberikan berbagai dampak masalah. Pada blue mussel misalnya ketika terpapar mikroplastik dapat menyebabkan inflamasi dan gangguan fisiologis. Begitu juga pada mamalia. Banyak laporan dampak mikroplastik menyebabkan gangguan ataupun potensi hazard misalnya dilaporkah Hussain tahun 2001 ditemukan absorbsi partikel polyetilen pada limpa dan ini berisiko pada gangguan fisiologis.
Dekan Universitas Maritim Raja Ali Haji ini menguraikan bahwa plastik itu sendiri merupakan cocktail dari polimer, untuk bisa menghasilkan bentuk plastik yang diinginkan perlu bahan aditif yang juga berpotensi karsinogenik dan merupakan senyawa endocrine disrupting contohnya phthalate, juga bisphenol A (BPA) yang sudah di banned selain itu ada juga PCBS dan DDT. Jadi plastik itu bisa bertindak sebagai media transfer substansi toksik”, ungkapnya.
Sementara itu Dr Ario Damar menjelaskan seputar eutropikasi, yaitu masuknya bahan organik ke dalam sebuah perairan sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan status nutrifikasi perairan. Pada perairan oligotrofik (tidak subur), hal ini bermanfaat karena memberi kesuburan dan meningkatkan produksi primernya. Namun jika eutropikasi berlebihan akan berakibat kerugian. Beberapa contoh buruknya seperti kematian masal ikan akibat terjadinya blooming plankton atau oksigen habis dipakai untuk mendekomposisi bahan organik oleh bakteria, oksigen tertinggal hanya sedikit.
Peneliti yang banyak mengamati coastal area ini menjelaskan tentang eutropikasi yang terjadi di teluk jakarta. “Pada teluk Jakarta misalnya, semakin ke tengah laut, kadar oksigen semakin tinggi pada bagian dasar namun semakin mendekati garis pantai maka kandungan oksigennya lebih rendah dari dua ppm di bagian dasar. Tetapi di Teluk Jakarta sirkulasi air masih bagus sehingga pada permukaan air tidak sampai hypoxia dan masih bisa mendukung kehidupan,” ujarnya.
Riset yang dilakukannya sejak tahun 2000 sampai tahun 2019 pada Teluk Jakarta menunjukkan tren peningkatan klorofil dan nitrogen dari tahun ke tahun. “Artinya terjadi peningkatan nutrifikasi di Teluk Jakarta, sementara kebalikannya cahaya menurun di Teluk Jakarta. Perairan Teluk Jakarta semakin keruh bukan karena sedimen tetapi karena alomerasi dari organik plankton dan sebagainya,” tuturnya.
la menambahkan bahwa sumber nitrogen dan posforus itu berasal dari darat. Sistem Teluk Jakarta dipengaruhi oleh sungai Cisadane di Barat dan Citarum di Timur serta sungai-sungai kecil yang merupakan cabang dari berbagai sungai seperti Ciliwung dan Angke. “Setelah kita petakan terlihat sumbangan terbesar nitrogen itu berasal dari Citarum kemudian Ciliwung yang di Ancol, Citarum karena debitnya juga besar dan sungainya lebar. Tetapi sungai Ciliwung yang kecil cukup signifikan sumbangannya hampir 20 persen, betapa tingginya konsentrasi nitrogen pada Ciliwung. Demikian juga posforus, sumbangan tertinggi berasal dari Citarum dan Ciliwung sementara Cisadane relatif kecil,” ungkapnya.
Malangnya perairan yang mengalami eutropikasi juga mengalami pencemaran non nutrien sehingga akibatnya akan berlipat. “Kami menelusuri Teluk Jakarta khususnya dari sungai Ciliwung bagian hulu di puncak dan kita ukur kontaminannya terkait dengan emerging pollutan. Terlihat kandungan polutannya meliputi DEET (lotion nyamuk), HHCB (pewangi), Caffein, mefenamic acid dan DIPN. Kontaminan tersebut mulai meningkat khususnya mulai dari stasiun ketika masuk DKI dan tinggi sekali di ujung yaitu stasiun Teluk Jakarta, hal ini menunjukkan bahwa perairan laut adalah ujung akhir dari perjalanan kontaminan yang dihasilkan di darat,” tandasnya. (IR/Zul)
Sumber : humas ipb