Carut Marut Tata Kelola Penanganan ABK Indonesia

foto_qustam

Carut Marut Tata Kelola Penanganan ABK Indonesia

Carut Marut Tata Kelola Penanganan ABK Indonesia

oleh:

M. Qustam Sahibuddin

(Peneliti PKSPL-LPPM IPB University)

Kasus kekerasan kembali menimpa ABK asal Indonesia. Kali ini menimpa pada ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal penangkap ikan Luqin Yuan Yu 623 berbendera Cina (viral di medsos 16 Mei 2020). Sebelumnya terjadi kasus yang sama pada kapal penangkap ikan Long Xing 629 (berbendera Cina). Kasus kekerasan terhadap ABK asal Indonesia tidak hanya kali ini saja terjadi, laporan Seabound (diterbitkan Greenpeace Asia Tenggara), menyebutkan terdapat 34 kasus yang melibatkan 13 kapal asing, terdiri dari kasus penipuan (11 kapal asing), penahanan gaji (9 kapal asing), kerja paksa (8 kapal asing) dan kasus kekerasan fisik dan seksual (7 kapal asing).

Masih berlangusngnya kekerasan/perbudakan terhadap ABK Indonesia dikarenakan perlindungan terhadap mereka masih sangat lemah. Artinya negara belum hadir untuk memberikan perlindungan. Dari data KKP, terdapat sekitar 250 ribu ABK Indonesia yang bekerja di kapal penangkap ikan asing dan belum terlindungi. Artinya status mereka tidak diakui secara hukum/ilegal.

Banyaknya ABK asal Indonesia yang bekerja di luar negeri secara ilegal akibat dari carut marutnya tata kelola penanganan ABK Indonesia ke luar negeri.

Pertama, terkait penanganan ABK Indonesia yang dikirim ke luar negeri belum satu pintu. Memang terdapat UU tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia No.18/2017 yang memberikan kewenangan kepada Kementerian Ketenagakerjaan (kemnaker) untuk mengurus serta menangani tenaga kerja Indonesia di negara penempatan (baik di laut atau darat). Namun kementerian lainnya juga memiliki aturan sendiri. Contohnya sebelum UU No. 18/2017 terbit, Dirjen Perhubungan Laut telah memiliki regulasi sendiri yang mengatur ABK melalui perpres. Artinya, saat ini penanganan ABK di Indonesia kiblatnya belum jelas. Akibatnya Kemnaker tak mampu memantau jumlah dan keabsahan agen penyalur ABK ke luar negeri serta tidak memiliki data akurat terkait berapa jumlah ABK Indonesia yang bekerja di kapal penangkap ikan asing, dimana saja mereka ditempatkan dan seperti apa kondisi mereka.

Selanjutnya, Indonesia belum meratifikasi Konvensi ILO C-188 (Konvensi ILO No. 188 Tahun 2007). Indonesia baru meratifikasi Intemational Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel, 1995 (STCW-F 1995) melalui Perpres No.18/2019 dan maritime convention (hanya mengatur tentang tenaga kerja untuk kapal niaga, bukan kapal penangkap ikan). Sedangkan Konvensi ILO C-188 terkait pekerjaan dalam penangkapan ikan belum diratifikasi. Akibatnya, 1). Secara spesifik permasalahan terkait ABK belum dibahas secara mendalam pada UU No.18/2017, 2). Kementerian terkait mengeluarkan aturan sendiri-sendiri serta berjalan masing-masing. Padahal terkait kewenangan penanganan ABK berada di Kemenaker, hal tersebut sesuai dengan UU No.18/2017 dan konvensi ILO C-188.

Ketiga, istilah yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia dalam mendefinisikan orang yang bekerja di kapal penangkap ikan tidak sesuai dengan istilah dalam konvensi ILO C-188. Seperti pada bagian I (definisi dan ruang lingkup) Pasal 1 point (e) konvensi ILO C-188 menggunakan istilah “awak kapal perikanan”, sedangkan pada pada UU No.18/2017 Pasal 4, ayat (1) point (e) menggunakan istilah “pelaut awak kapal” dan “pelaut perikanan”. Akhinya menghasilkan istilah yang tidak sesuai dengan Konvensi ILO C-188 Tahun 2007.

Keempat, belum adanya peraturan turunan UU No. 18/2017 yang mengatur lebih detail terkait perlindungan awak kapal perikanan. Keberadaan peraturan turunan tersebut sangat penting untuk dijadikan tolak ukur perlindungan ABK Indonesia, mulali dari proses perekrutan, saat bekerja di kapal perikanan dan pasca bekerja. Karena UU No.18/2017 secara umum hanya fokus kepada pekerja yang berada di darat. kita ketahui bersama bahwa kondisi bekerja di laut sangat berbeda dengan kondisi bekerja di darat.

Solusi

Pertama, terkait penanganan dan pengiriman ABK Indonesia keluar negeri untuk bekerja di kapal penangkap ikan melalui satu pintu. Dimana Kemenko Maritim ditunjuk sebagai nahkoda utama dalam mesinergikan serta menghilangkan ego sektoral yang terjadi pada lintas kementerian (Kemenlu, KKP, Kemenhub dan Kemenaker). Harapannya agar data base dan pemantauan ABK Indonesia yang bekerja di kapal penangkap ikan asing lebih akurat dan terintegrasi, mulai dari perusahaan/agen penyalur ABK Indonesia, proses prekrutan, sertifikasi, pemberangkatan, proses bekerja di kapal beserta kondisi ABK Indonesia hingga pasca bekerja.

Kedua, Pemerintah Indonesia harus segera merativikasi konvensi ILO C-188, yang nantinya menjadi rujukan terkait penyusunan peraturan turunan UU No.18/2017 untuk mengatur lebih detail perlindungan awak kapal perikanan Indonesia yang bekerja di kapal penangkap ikan asing. Serta melakukan perbaikan terhadap UU No.18/2017 terkait penggunaan istilah pekerjaan dalam penangkapan ikan agar sesuai dengan istilah yang digunakan dalam Konvensi ILO C-188 Tahun 2007.

Ketiga, mengawal proses perekrutan dan sertifikasi hingga ke tingkat agen penyalur ABK. Agar calon ABK yang direkrut tidak asal rekrut namun memiliki background yang jelas. Selanjutnya proses sertifikasi sangatlah penting bagi calon ABK. Dengan adanya sertifikat yang dimiliki oleh ABK Indonesia kemampuan mereka diakui di luar negeri, memiliki status hukum yang jelas, memperoleh sesuai dengan hak-hak yang seharusnya diperoleh serta fasilitas yang memadai.

Keempat, guna melindungi ABK Indonesia di bawah nahkoda Kemenko Maritim, semua kementerian terkait berkoordinasi dengan pemerintah daerah terkait mengawal dan terus mensosialisasikan khususnya kepada perusahaan/agen penyalur ABK agar mematuhi bahwa perekrutan ABK yang tidak mengikuti prosedural yang telah ditetapkan tidak diperbolehkan dan memberikan sanksi tegas terhadap perusahaan/agen yang nakal. Kelima, peran perwakilan pemerintah Indonesia di luar negeri harus diperkuat. Tujuannya disamping sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Indonesia, juga untuk mengawal dan mengarahkan serta memberikan list nama-nama perusahaan/agen penyalur ABK Indonesia yang telah memenuhi dan melaksanakan prosedural yang telah ditentukan oleh Pemerintah Indonesia keapada perusahaan yang hendak merekrut dan mempekerjakan ABK asal Indonesia.

Indonesia sebagai negara kepulauan yang 70% wilayahnya terdiri dari laut sangat meyedihkan jika banyak ABK Indonesia bekerja di kapal penangkap ikan asing. Lebih menyedihkan lagi banyak yang menjadi korban kekerasan/perbudakan (trafficking). Sudah tentunya pemerintah Indonesia harus hadir dan memberikan jaminan perlindungan terhadap ABK Indonesia yang bekerja di kapal penangkap ikan asing seperti yang penulis telah uraikan di atas. (MQS)