Babak Baru Pengelolaan Lobster Indonesia
Babak Baru Pengelolaan Lobster Indonesia
Babak Baru Pengelolaan Lobster Indonesia
oleh:
M. Qustam Sahibuddin
(Peneliti PKSPL-LPPM IPB University)
Terbitnya Permen-KP No.12/Permen-KP/2020 menandakan berakhirnya era Susi Pudjiastuti. Nampaknya Men-KP Edhy Prabowo tidak ingin berlama-lama terkait permasalahan pengelolaan lobster di indonesia. Permen-KP No.12/2020 memperbolehkan baby lobster (puerulus) untuk di ekspor. Alasannya berawal dari pandangan Men-KP melihat kasus penyelundupan benih lobster ke luar negeri semakin marak sehingga jika diperbolehkan ekspor akan mengurangi kasus penyelundupan dan menghasilkan devisa. Walaupun diperbolehkan ekspor, harus memenuhi sejumlah ketentuan, seperti kuota dan lokasi penangkapan benih lobster harus sesuai hasil kajian Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan), eksportir benih lobster harus melakukan budidaya lobster di dalam negeri dan melibatkan masyarakat/pembudidaya, eksportir wajib melakukan restocking sebanyak 2% dari hasil budidaya dengan ukuran sesuai hasil panen, dan benih lobster yang diekspor harus diperoleh dari nelayan kecil penangkap benih lobster dan terdaftar pada kelompok nelayan di lokasi penangkapan benih lobster.
Permen-KP No.12/2020 sangat berbeda dengan permen-KP era Susi Pudjiastuti. Perbedaan tersebut meliputi aturan penangkapan benih lobster untuk kegiatan ekspor dan budidaya serta ukuran lobster konsumsi. Era Susi Pudjiastuti sama sekali tidak memperbolehkan benih lobster ditangkap baik untuk kegiatan jual beli (dalam negeri dan luar negeri), maupun untuk kegiatan budidaya. Sedangkan untuk ukuran lobster konsumsi di atas 200 gram. Walaupun demikian masing-masing Permen sama-sama tidak memperbolehkan menangkap lobster yang sedang bertelur dan memperbolehkan penangkapan benih lobster untuk kegiatan penelitian.
Dampak dari kebijakan aturan pemanfaatan lobster era Susi Pudjiastuti, banyak nelayan kecil penangkap benih lobster kehilangan mata pencahariannya dan mematikan kegiatan budidaya lobster nasional. Disatu sisi kebijakan tersebut diklaim mampu menjaga kelestarian lobster dari kegiatan eksploitasi dan penangkapan yang berlebihan (overfshing). Terkait klaim tersebut penulis berpandangan perlu ditunjukkan dengan data valid melalui kegiatan penelitian.
Dalam penelitian yg dilakukan Furqan et al (2017) disebutkan bahwa terdapat beberapa penelitian terkait lobster yang dilakukan hasilnya bertentangan seperti Philips dan Smith (2006), Junaidi et al (2010), Suman et al (2014), Herrnkind dan Butler (1994); Philips et al (2003) serta penelitian Childress dan Jurry (2006). penelitian Phillips dan Smith (2006) menyatakan semua jenis lobster Panulirus spp dikhawatirkan telah mengalami ekploitasi penuh akibat aktivitas penangkapan yang berlebih di alam, termasuk Indonesia. Dilanjutkan Junaidi et al (2010) menjelaskan peningkatan permintaan pasar domestik maupun ekspor, mengakibatkan penangkapan lobster semakin intensif. Tetapi hasil penelitian lain bertolak belakang dengan hasil penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, seperti peneliti dari Balai Riset Kelautan dan Perikanan, Suman et al. (2014), menjelaskan aktivitas penangkapan lobster di WPP-RI 573 justru belum melebihi potensi lestarinya, begitu juga penelitian oleh Herrnkind dan Butler (1994); Phillips et al. (2003), menjelaskan bahwa tingkat kematian benih lobster (puerulus) di alam mencapai 88-99%. Terakhir Childress dan Jurry (2006), dijelaskan bahwa para peneliti ternyta masih belum bisa memprediksikan dengan pasti dampak kegiatan penangkapan lobster terhadap keberlanjutan dari lobster itu sendiri. Karena lobster memiliki strategi tingkah laku yang sangat bervariasi yang menjadi pembatas para peneliti dalam membuat asumsi model pertumbuhan populasi lobster di alam.
Pengalaman penulis sendiri di Ujung Genteng tahun 2020, lobster yang ditangkap tidak pernah mengalami penurunan. Hal tersebut dijelaskan oleh pengumpul lobster yang telah merintis usahanya sejak tahun 1994. Lobster memiliki musim panen sendiri di alam, biasanya memasuki awal musim kemarau. Disamping itu juga memiliki musim panen raya yang terjadi 3, 5 dan 10 tahun sekali. Saat memasuki musim panen raya, pengumpul lobster mampu menghasilkan lobster ±2 ton.
Jalan Tengah Pengelolaan Lobster Indonesia
Dari beberapa penelitian yang dijelaskan di atas, penulis berpendapat Permen-KP No.12 Tahun 2020 merupakan jalan tengah terkait pengelolaan lobster Indonesia. Kenapa jalan tengah, pertama kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus dapat mempertimbangkan kondisi real di lapangan disertai informasi yang lengkap sehingga kebijakan tepat sasaran. Kedua bahwa kebijakan yang dikeluarkan tidak hanya mempertimbangkan keberlanjutan sumberdaya (lobster) semata, melainkan harus juga memberi manfaat sosial ekonomi. Ketiga dukungan kebijakan benih lobster untuk kegiatan budidaya di dalam negeri memberikan harapan baru.
Permen-KP No.56/2016 telah menjadi permen pahit hampir sebagian nelayan di Indonesia. Karena rejeki berlimpah dari hasil penangkapan benih lobster tiba-tiba hilang begitu saja. Disamping itu pemberlakukan Permen-KP No.56/2016 dilakukan secara tiba-tiba tanpa adanya sosialisasi dan diskusi terlebih dahulu. Akibatnya banyak nelayan kehilangan mata pencaharian mereka yang jika sedang musim puncak satu malam dapat memperoleh Rp. 2 juta. Artinya kebijakan Permen-KP No.56/2016 berat sebelah.
Selanjutnya aturan pemafaatan lobster yang tertuang dalam Permen-KP No.12/2020, disamping mempertimbangkan asas manfaat ekonomi, juga mempertimbangkan asas keberlanjutan sumberdaya lobster itu sendiri. Bahwa penangkapan benih lobster harus menggunakan alat tangkap bersifat statis (Pasal 3, ayat 1 huruf c) dan pasif (Pasal 5, ayat 1 huruf g), harus melepasliarkan (restocking) lobster sebanyak 2% dari hasil budidaya dengan ukuran sesuai hasil panen (Pasal 3, ayat 1 huruf e) . Untuk kegiatan ekspor benih lobster (puerulus) hanya akan disetujui jika sesuai dengan hasil kajian Komnas KAJISKAN (Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Ikan) dan dengan sistem kuota.
Terakhir dukungan kebijakan benih lobster untuk kegiatan budidaya merupakan angin segar bagi para pelaku budidaya lobster di dalam negeri. Pengembangan budidaya lobster dengan memanfaatkan benih hasil tangkapan dari alam dikenal dengan konsep fisheries-based aquaculture. Tentunya introduksi IPTEK sangat berperan dalam hal ini. Kedepan peran IPTEK menjadi sangat krusial dalam menjaga keberlanjutan lobster di alam serta kegiatan budidaya. Proses introduksi IPTEK dapat dimulai dari pembesaran lobster under size hingga ukuran konsumsi, dilanjutkan proses pembesaran juvenile ke lobster under size, kemudian proses phyllosoma ke puerulus, selanjutnya proses penetasan telur ke phyllosoma dan sampai pada akhirnya mampu membenihkan lobster di sistem hatchery. Konsep ini dikenal dengan istilah “from fisheries-based aquaculture to hatchery-based aquaculture”.
Hemat penulis, babak baru pengelolaan lobster di Indonesia telah dimulai dengan ditandai terbitnya Permen-KP No.12 Tahun 2020 pengganti Permen-KP No.56 Tahun 2016. Sekelumit permasalahan pengelolaan lobster tidak akan pernah selesai jika hanya mementingkan aspek keberlanjutan sumberdaya lobster tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Guna mencapai hal tersebut, pemerintah harus menerapkan konsep “from fisheries-based aquaculture to hatchery-based aquaculture” agar manfaat ekonomi dan aspek keberlanjutan sumberdaya lobster mencapai titik keseimbangan dan dapat terus berjalan berdampingan dimasa depan. (MQS)