Derita Wartin Di Hari Nelayan Nasional

WARTIN

Derita Wartin Di Hari Nelayan Nasional

SELEPAS enam hari berjuang di tengah laut, bukan berarti Wartin, 50, lantas dapat langsung bersantai begitu tiba di darat. Dari atas sebuah kapal kayu tradisional yang bersandar di dermaga Kampung Nelayan Kali Adem, Muara Angke, Jakarta Utara, pria asal Cirebon, Jawa Barat, itu bersama dua rekannya langsung memeriksa dan memperbaiki jaring plastik krampus yang baru saja mereka gunakan menangkap ikan. Alat tangkap tersebut menjadi satu-satunya andalan Wartin untuk menangkap ikan di laut lepas. Terlihat ada beberapa bagian tali jaring dalam kondisi putus akibat tersangkut karang laut. Gunting dan potongan kayu runcing digunakannya untuk mengganti bagian tali jaring plastik yang putus.

“Oh 6 April itu Hari Nelayan Nasional, ya? Saya baru tahu ada Hari Nelayan Nasional. Perasaan biasa saja, enggak ada yang spesial di hari ini,” ujar Wartin yang tengah sibuk meneliti satu per satu bagian jaringnya, Kamis (6/4). Wartin sama sekali tak menghiraukan pertanyaan yang diajukan kepadanya seputar Hari Nelayan Nasional. Tangannya yang hitam kekar sibuk menyibak dan mengurai tumpukan jaring untuk mencari bagian yang rusak. “Hari nelayan itu enggak penting. Yang paling penting sekarang ialah jaring ini jangan sampai ada yang sobek. Kalau sobek, pergi ke tengah laut jadi enggak ada gunanya,” ujarnya.

Setiap melaut, bapak tiga anak itu menghabiskan waktu selama enam hari. Dalam beberapa waktu belakangan, rata-rata sekitar 3 kuintal ikan yang terdiri dari ikan kembung, sebelah, gete, dan kurisi dibawanya ke darat. Padahal setahun sebelumnya, paling tidak rata-rata 7 kuintal ikan bisa diperolehnya. Dari hasil penjualan ikan itu, ia mesti membaginya dengan enam rekannya serta pemilik kapal. Jika dihitung-hitung, setelah dipotong biaya kebutuhan di laut berikut solar, tidak banyak rupiah yang masuk ke kantongnya. Bila agak mujur, Wartin mendapat jatah Rp200 ribu-Rp300 ribu setelah melaut selama enam hari.

“Setiap kali melaut, kita butuh Rp6 juta untuk beli perbekalan selama di laut. Itu sudah termasuk pembelian 200 liter solar. Namanya nelayan, kadang untung, kadang rugi. Kalau ikan lagi sepi, bisa enggak bisa tutup modal atau cuma pas-pasan balik modal,” keluhnya. Diding, 46, nelayan lainnya, turut menyampaikan keluhannya. Menurutnya, masalah yang paling dirasakan saat ini ialah makin tingginya biaya operasional, khususnya harga solar. Makin sulitnya tangkapan secara otomatis mendorong Diding harus mengejar lebih banyak ikan meski hingga ke titik lebih jauh. Imbasnya, bahan bakar yang dikeluarkan bertambah.

Lebih sering, ia menjaring ikan hingga Pulau Tampel dan Karang Bata, perairan Selat Sumatra, untuk mengisi kotak penyimpan kapalnya. “Jadi sekarang kita harus tambah modal solar sekitar 50 liter. Padahal dapat ikannya sama saja. Kadang malah lebih sedikit. Sebelumnya sekitar Pulau Untung Jawa aja sudah dapat ikan,” katanya. Lesunya hasil tangkapan di perairan Teluk Jakarta, lanjut Diding, juga kerap disebabkan kondisi perairan yang tidak stabil. Terkadang masih terjadi pencemaran air yang memicu rusaknya ekositem laut. “Kalau sudah kena limbah, bagaimana mau ada ikannya? Mau enggak mau pindah ke tempat yang lebih jauh. Sudah capek, hasilnya pun enggak seimbang,” tutupnya. (Deni Aryanto/J-1).