Politik Baru Perikanan
Politik Baru Perikanan
Lima bulan Susi Pudjiastuti menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan, terdapat sejumlah gebrakan yang mengentakkan publik.
Gebrakan pertama berupa Peraturan Menteri (Permen) No 56 dan 57/Permen-KP/2015 tentang Moratorium Kapal Eks Asing dan Pelarangan Transhipment yang telah mendapat dukungan publik yang luar biasa.
Gebrakan kedua adalah Permen No 1/Permen-KP/2015 tentang Penangkapan Tiga Spesies Perikanan Penting, yakni Lobster, Kepiting, dan Rajungan, serta Permen No 2/Permen-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) yang telah membuat polarisasi respons nelayan.
Apakah regulasi tersebut akan menjadi babak baru perikanan Indonesia?
Kedaulatan dan keberlanjutan
Gebrakan pertama lebih berorientasi pada kedaulatan. Hasilnya adalah semakin sadarnya publik tentang betapa pentingnya menjaga kedaulatan bangsa di laut. Telah terbongkar sejumlah kasus.
Pertama, ternyata perikanan ilegal masih marak terjadi dengan modus pelanggaran batas wilayah, berbendera ganda, alih muatan, dokumen palsu, atau tanpa dokumen. Ditemukan pula satu kapal eks asing diiringi dengan tiga kapal tanpa izin. Jadi, apabila kapal eks asing yang resmi berjumlah 1.132, pada kenyataannya bisa beranak pinak menjadi jauh lebih dari itu.
Kedua, perikanan ilegal biasanyadiikuti BBM ilegal dan pekerja ilegal pula. Masih banyak ditemukan anak buah kapal (ABK) asing di kapal eks asing, padahal ABK asing dilarang. Dominasi ABK asing bisa mengindikasikan masih adanya kepemilikan asing pada kapal tersebut.
Ketiga, ikan hasil tangkapan dilarikan ke luar negeri secara ilegal, padahal industri pengolahan ikan masih kekurangan bahan baku.
Gebrakan ini membuat lengangnya laut sekitar Arafura dan Laut Tiongkok Selatan dari kapal asing. Hal ini berdampak positif bagi pemulihan sumber daya dan kenyamanan armada nasional memanfaatkan sumber daya ini. Gebarakan ini juga berdampak pada menurunnya suplai bahan baku untuk industri pengolahan ikan di Thailand, Filipina, dan Tiongkok. Namun, yang lebih penting adalah kedaulatan dan kehormatan bangsa di mata internasional semakin terjaga.
Gebrakan kedua berorientasi pada keberlanjutan sumber daya ikan. Gebrakan ini ditunggu-tunggu nelayan tradisional yang selama ini dirugikan praktik kapal pukat hela dan variasinya. Bahkan, para nelayan Labuhan Deli Belawan melakukan upacara syukuran atas keluarnya permen tersebut.
Ada sejumlah dampak positif pelarangan pukat ini. Pertama, dampak terhadap pemulihan sumber daya ikan. Menurut WWF Hongkong, diperkirakan dalam lima tahun setelah pelaksanaan larangan trawl di Hongkong, populasi cumi-cumi bisa meningkat hingga 35 persen, ikan karang 20 persen, dan ikan yang lebih besar, seperti kerapu, bisa 40-70 persen. Hongkong juga menerapkan larangan tersebut secara bertahap.
Kedua, menurunnya konflik nelayan. Pengoperasian trawl dan sejenisnya sering menimbulkan konflik nelayan. Hal ini karena trawl sering beroperasi di wilayah nelayan tradisional. Konflik di Pekalongan tahun 1970-an dan di pantura Jawa hingga 1980-an telah mendorong Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 tentang Pelarangan Trawl. Di Aceh, Sumatera Utara, dan pantura Jawa konflik juga mengemuka saat ini.
Ketiga, penghematan BBM mengingat trawl boros BBM. Di Amerika Serikat, trawl butuh 1 liter BBM per kilogram ikan, gillnet sepertiga liter per kilogram, dan purse seine 0,03 liter per kilogram (Satria, 2008). Di Vietnam, pangsa BBM terhadap biaya operasi penangkapan terbesar adalah trawl, yakni 52 persen, sementara longline dan purse seine masing-masing 40 persen dan20 persen.
Namun, gebrakan ini menuai demonstrasi nelayan cantrang di Jawa. Suara pendemo tersebut lebih keras terdengar daripada suara nelayan kecil tradisional yang mendukung permen. Memang harus diakui adanya dampak negatif berupa potensi hilangnya mata pencarian nelayan. Apalagi, sebelumnya ada Permen No 42/Permen-KP/2014 yang sifatnya hanya membatasi penggunaan pukat.
Namun, baik permen lama maupun permen baru sama-sama melarang penggunaan kapal cantrang ukuran di atas 30 gross tonnage (GT). Hanya saja, sering ditemukan fenomena mark down ukuran kapal menjadi kurang dari 30 GT agar bisa beroperasi. Jadi, sebenarnya permen baru ini bukan hal baru untuk kapal cantrang besar tersebut.
Gebrakan baru
Gebrakan pertama dan kedua berciri sama, yakni menjalankan fungsi pemerintah sebagai ”rem” atau menurut Bryant (2000) adalah pelindung lingkungan. Fungsi ini penting dilakukan agar kedaulatan dan keberlanjutan bisa terjaga. Apakah fungsi ini bisa menyejahterakan? Dalam fungsi ”rem”, kesejahteraan bersifat tidak langsung dan jangka panjang. Ketika kebijakan ini diterapkan,sumber daya lambat laun pulih dan akhirnya dapat dinikmati nelayan secara berkelanjutan.
Untuk mengimbangi fungsi ”rem”, perlu gebrakan baru yang tujuannya adalah kesejahteraan secara langsung dan jangka pendek. Di sinilah fungsi pemerintah sebagai ”gas” atau menurut Bryant sebagai agen pembangunan. Fungsi ”rem” dan ”gas” harus dimainkan dengan tepat. Bagaimana langkah untuk memainkan ”gas” dan ”rem” kebijakan perikanan dalam situasi saat ini?
Pertama, harus ada solusi jangka pendek terhadap nelayan yang terkena dampak permen. Solusi bisa berupa pembukaan akses permodalan untuk perubahan alat tangkap, pelatihan pengoperasian alat tangkap baru, dan penyediaan mata pencarian alternatif. Juga ada masa transisi untuk penyesuaian alat tangkap. Kerja sama pusat dan daerah penting untuk solusi ini.
Kedua,proyek padat karya, seperti rehabilitasi kawasan pesisir. Ada 2.200 desa pesisir rawan rob yang harus diatasi dan perlu banyak tenaga kerja. Ketiga, pengembangan 100 sentra perikanan dan akselerasi gerakan kemandirian perikanan budidaya. Keempat, menciptakan iklim investasi yang lebih baik agar armada nasional bisa mengisi kekosongan alokasi izin yang ditinggalkan kapal eks asing.
Semoga kombinasi ”gas” dan ”rem” yang baik bisa menjadi babak baru perikanan Indonesia yang berkedaulatan, berkelanjutan, dan menyejahterakan