Membangun Kedaulatan Pangan
Membangun Kedaulatan Pangan
Pangan merupakan kebutuhan dasar dan sekaligus hak azasi manusia. Seseorang yang kurang gizi atau menderita gizi buruk, daya tahan tubuhnya lemah dan kecerdasannya biasanya rendah. ’You are what you eat’. Bahkan orang yang tidak makan (kelaparan) dalam waktu lama bisa berujung pada kematian. Bayangkan, sebuah negara-bangsa yang rakyatnya banyak yang menderita gizi buruk atau kelaparan dapat dipastikan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) nya rendah. Padahal, kunci kemajuan dan kesejahteraan sebuah bangsa bukan terletak pada kekayaan alam, tetapi lebih pada kualitas SDMnya. Sebut saja Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Swiss adalah contoh sukses negara yang miskin SDA, tetapi berhasil menjadi bangsa industri maju nan kaya raya. Penelitian FAO (2002) mengungkapkan, bahwa negara dengan jumlah penduduk diatas 100 juta orang, yang kebutuhan pangannya bergantung pada impor, akan sangat sulit menjadi negara maju, sejahtera, dan berdaulat. Contohnya Uni Soviet yang pernah jadi Negara Adidaya bersama AS pada era 1960 – 1980-an runtuh dan tercerai berai menjadi negara-negara kecil lantaran kebutuhan pangannya bergantung pada impor.
Dengan jumlah penduduk dunia 7,2 milyar jiwa seperti sekarang saja, selama dekade terakhir dunia sering mengalami krisis pangan. Bagaimana kalau penduduk dunia mencapai 11 milyar orang, yang diprediksi akan terjadi pada 2100 (PBB, 2014)?. Sementara itu, pemanasan global telah menyebabkan penurunan produksi pangan di banyak negara. Yang lebih mencemaskan, bahwa demi mengamankan katahanan pangan nasionalnya, negara-negara pengekspor pangan utama seperti AS, Kanada, Australia, dan Thailand akhir-akhir ini mulai membatasi ekspor bahan pangannya.
Sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia dengan potensi produksi pangan yang sangat beragam dan besar, Indonesia sejatinya berpeluang untuk menjadi bangsa besar yang maju dan makmur sebagai produsen pangan utama dunia yang tidak hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan nasionalnya, tetapi juga dapat memasok bahan pangan tropis ke seluruh dunia (feeding the world). Buka seperti sekarang, Indonesia malah menjadi bangsa pengimpor bahan pangan terbesar di dunia.
Solusi teknis
Untuk mewujudkan kedaulatan pangan nasional, diperlukan implementasi kebijakan teknikal dan politik-ekonomi secara sinergis. Menurut UU No.18/2002, ”ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap individu warga negara, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”. Dari definisi tersebut, jelas bahwa dalam ketahanan pangan, asal bahan pangan bisa dari produksi dalam negeri atau impor. Sedangkan, kedaulatan pangan mengandung arti bahwa pasok pangan, khususnya bahan pangan pokok, mesti berasal dari produksi dalam negeri.
Maka, Indonesia dikatakan berdaulat pangan, bila kita mampu memproduksi bahan pangan berkualitas dalam jumlah sama atau lebih besar dari pada kebutuhan nasional secara berkelanjutan. Selain itu, setiap warga negara di seluruh wilayah NKRI harus mampu mendapatkan sejumlah bahan pangan yang dibutuhkan sesuai dengan daya belinya. Untuk itu, kita harus mengimplementasikan sembilan kebijakan utama berikut.
Pertama adalah peningkatan produksi pangan, khususnya komoditas strategis seperti beras, jagung, kedelai, gula, daging, ikan, sayuran, buah-buahan, minyak goreng, dan garam secara efisien, adil, dan berkelanjutan. Sehingga, secara nasional, total produksi pangan harus lebih besar ketimbang kebutuhannya. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan: (1) intensifikasi (peningkatan produktivitas dan efisiensi) pada lahan-lahan pertanian dan perairan perikanan yang ada; (2) ekstensifikasi alias pengembangan usaha di lahan dan perairan baru; dan (3) diversifikasi usaha produksi jenis-jenis tanaman, hewan, ikan, dan biota lain yang baru.
Intensifikasi dapat dilakukan melalui pengunaan bibit/benih unggul, teknologi budidaya mutakhir yang terbaik, pemberian pakan berkualitas dalam perikanan budidaya dan peternakan, pengendalian hama dan penyakit, pengelolaan irigasi dan tanah, tata letak dan design perkolaman yang baik; dan biosecurity (keamanan hayati).
Untuk menjamin produktivitas, efisiensi, dan keberlanjutan usaha produksi pangan, maka lahan-lahan pertanian dan perairan yang ada sekarang harus dipertahankan, tidak boleh dikonversi menjadi kawasan industri, pemukiman, infrastruktur, dan penggunaan lainnya. Mulai awal tahun depan kita harus memanfaatkan lahan-lahan marginal dan terlantar yang jumlahnya mencapai 7 juta ha untuk usaha produksi berbagai komoditas pangan. Sementara itu, ekstensifikasi harus dilaksanakan di luar kawasan lindung. Program ekstensifikasi sebaiknya dilakukan di lahan-lahan marginal, terlantar, atau kawasan hutan yang boleh dikonversi di luar P. Jawa dan Bali.
Laut yang menyusun 2/3 wilayah kedaulatan NKRI sejatinya merupakan sumber pangan yang sangat besar yang dapat dimanfaatkan untuk menopang kedaulatan pangan. Potensi produksi ikan laut (seafood) sekitar 7,3 juta ton/tahun (8% total potensi ikan laut dunia), dan hingga kini baru dimanfaatkan melalui usaha perikanan tangkap sebesar 5,4 juta ton (74%). Luas lahan pesisir yang cocok untuk budidaya perikanan (seperti udang, bandeng, kerapu, kepiting soka, dan rumput laut) sekitar 1,5 juta ha dengan potensi produksi 15 juta ton/tahun, dan sekarang baru diproduksi 2,5 juta ton (17%). Sementara, luas perairan laut yang sesuai untuk usaha budidaya perikanan sekitar 24 juta ha dengan potensi produksi 45 juta ton/tahun, dan sekarang baru diproduksi 5 juta ton (11%). Rumput laut selain sebagai bahan pangan (termasuk sayuran) juga bisa diproses untuk menghasilkan ratusan jenis produk makanan dan minuman sehat, farmasi, kosmetik, biofuel, dan industri lainnya. Di masa depan, seperti yang telah dikerjakan di AS, Israel, dan Tiongkok, dengan nano-bioteknologi tanaman pangan darat (seperti padi, jagung, dan tebu) bisa dibudidayakan di perairan laut dangkal.
Kita mesti merenovasi infrastruktur irigasi (bendungan dan jaringan saluran irigasi) dan infrastruktur dasar pedesaan (jalan, listrik, telkom, air bersih), dan membangun yang baru sesuai kebutuhan setiap wilayah di seluruh Nusantara. Pemerintah melalui BUMN atau mendorong usaha swasta untuk memproduksi sarana produksi (seperti bibit, benih, pupuk, obat-obatan, pakan, bahan bakar, dan alat penangkapan ikan) dan mesin peralatan berkualitas dengan jumlah yang mencukupi untuk seluruh wilayah Nusantara.
Kedua, perbaikan dan pengembangan penanganan pasca panen seluruh produk pertanian dan perikanan dengan merenovasi serta membangun baru fasilitas pergudangan, cold storage, dan lainnya. Kehilangan bahan pangan dari lokasi produksi (panen) ke konsumen, yang selama ini mencapai 15% dari total hasil panen akibat busuk atau terbuang percuma, harus dikurangi atau tanpa kehilangan.
Lebih dari itu, industri pengolahan untuk sejumlah komoditas pertanian dan perikanan menjadi beragam produk setengah jadi maupun produk akhir juga harus terus dikembangkan. Pasalnya, selain meningkatkan nilai tambah, penciptaan lapangan kerja, dan efek pengganda (multiplier effects), hilirisasi bahan baku menjadi produk setengah jadi dan produk akhir juga lebih tahan lama, memudahkan peyimpanan dan pengangkutan (distribusi) nya.
Ketiga, dalam menu makanan mayoritas penduduk masih terlalu besar porsi karbohidratnya, berupa beras (140 kg per kapita) dan mie gandum (20 kg per kapita). Indonesia merupakan bangsa pengkonsumsi beras terbesar di dunia, rata-rata konsumsi beras dunia hanya 60 kg per kapita (FAO, 2013). Tak heran, bila penderita diabetes terbanyak di dunia menimpa bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, perlu perbaikan komposisi asupan makanan yang lebih bergizi dan berimbang. Yakni: konsumsi beras sekitar 80 kg per kapita (orang/tahun) dan lebih besar porsi protein hewani (ikan, daging, telur, dan susu), sayur dan buah nya. Kita harus membiasakan dan menikmati sumber karbohidrat selain beras dan gandum, yang potensi produksinya sangat besar di tanah air, seperti sagu, sorgum, dan umbi-umbian. Produksi mie berbasis tepung tapioka, sorgum, dan sumber non-gandum lainnya harus terus dikembangkan. Dengan cara demikian, kita tidak hanya akan mampu berswasembada beras, tetapi juga bisa mengurangi impor gandum yang tahun lalu mencapai 7,2 juta ton.
Mengingat terbatasnya lahan penggembalaan ternak dan luasnya pun semakin menurun, maka produksi daging sapi di Indonesia akan kalah bersaing dengan harga daging impor dari Australia, Selandia Baru, Kanada, dan Brazil yang memiliki padang penggembalaan yang jauh lebih luas ketimbang Indonesia. Sebab itu, sumber protein hewani yang berasal dari ikan (seafood) dalam makanan rakyat Indonesia harus lebih ditingkatkan, dari sekarang 34 kg per kapita menjadi 50 kg per kapita seperti Malaysia, atau kalau perlu seperti bangsa Jepang sebesar 100 kg per kapita.
Seperti yang dicontohkan oleh Presiden Xi Jin Ping dan para pemimpin lain Tiongkok baru-baru ini, kita harus berhenti membuang makanan secara sia-sia. Pasalnya, menurut FAO (2013), banyaknya makanan sisa yang terbuang dari hotel, restoran, rumah tangga, dan lainnya secara global mencapai 18% dari total produksi pangan dunia.
Keempat, pemerintah harus menjamin pasar seluruh produk pertanian dan perikanan dengan harga jual yang menguntungkan para petani dan nelayan (produsen), seperti melalui pemberlakuan harga dasar. Untuk komoditas-komoditas yang tidak mengalami distorsi pasar, penetapan harganya diserahkan kepada mekanisme pasar. Sebaliknya, pemerintah (c.q BULOG) harus hadir melakukan intervensi untuk berperan sebagai penyangga stok dan harga. Kebijakan ini untuk menjamin kesejahteraan para produsen pangan, karena kedaulatan pangan tidak mungkin terwujud atau tidak ada artinya, kalau petani dan nelayan nya miskin.
Kelima, antara kawasan-kawasan sentra produksi pangan dengan kawasan-kawasan konsumen (pasar) pangan maupun pelabuhan dan bandara di seluruh Nusantara harus dihubungkan dengan baik oleh jaringan transportasi laut, darat maupun udara. Hal ini untuk memastikan bahwa seluruh rakyat Indonesia dapat mengakses bahan pangan dengan mudah dan harganya terjangkau. Keenam, kita harus melakukan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap dampak Perubahan Iklim Global yang mempengaruhi produksi pangan. Ketujuh, kapasitas dan etos kerja petani dan nelayan harus terus ditingkatkan melalui program Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan secara sistematis dan profesional, supaya mereka mampu memproduki bahan pangan yang berdaya saing tinggi secara berkelanjutan. Kedelapan, penguatan dan pengembangan kegiatan R & D untuk menghasilkan inovasi teknologi dan sistem manajemen yang dapat meningkatkan daya saing sektor pertanian dan kelautan secara berkesinambungan. Kesembilan, penguatan dan pengembangan kelembagaan petani dan nelayan untuk memperkokoh posisi tawar mereka di tengah era globalisasi secara berkeadilan.
Kebijakan politik ekonomi
Kebijakan teknis diatas hanya akan dapat mewujudkan kedaulatan pangan, bila didukung oleh kebijakan politik ekonomi yang kondusif. Pada intinya, kebijakan politik ekonomi harus mampu meningkatkan daya saing dan kesejahteraan produsen pangan nasional, dan secara simultan melindungi produsen dalam negeri dari gempuran produk pangan impor melalui sistem perdagangan bebas yang tidak adil (unfair free trade). Untuk komoditas pangan yang bisa diproduksi di dalam negeri dengan potensi produksi melebihi kebutuhan nasional, sebaiknya tidak diimpor lagi, baik sekarang juga atau secara bertahap. Produsen pangan nasional juga harus dilindungi dari paraktik dumping dan subsidi terselubung negara-negara eksportir pangan.
Kebijakan yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing dan kesejahteraan produsen pangan domestik adalah: (1) peningkatan akses petani dan nelayan kepada sumber modal, (2) industrialisasi pedesaan yang inklusif dan ramah lingkungan, (3) perbaikan dan pengembangan infrastruktur dan suplai energi, dan (4) penciptaan iklim investasi yang kondusif. Dalam10 tahun terakhir jumlah nominal kredit perbankan yang dialokasikan untuk sektor pertanian (termasuk kelautan dan perikanan) hanya 14% dari total kredit. Padahal, 49% total angkatan kerja Indonesia bekerja di sektor pertanian. Suku bunga pinjaman perbankan di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia, sekitar 14 persen. Di negara-negara ASEAN lain, suku bunganya paling tinggi 9 persen. Sementara di negara-negara maju (seperti AS, Uni Eropa, Inggris, dan Jepang), suku bunga kurang dari 5 persen. Yang lebih menyusahkan, dengan persyaratan yang ada sekarang, para petani dan nelayan kecil hampir mustahil untuk mendapatkan pinjaman modal dari perbankan. Oleh sebab itu, sangat tepat rencana Capres Jokowi untuk mendirikan Bank Agromaritim yang dimaksudkan untuk mendukung kinerja sektor pertanian dan sektor kelautan dan perikanan secara maksimal.
Usaha on-farm (budidaya atau penangkapan ikan) dalam sektor pertanian tidak mungkin mampu menampung tenaga kerja yang terus bertambah dengan pendapatan yang mensejahterakan. Oleh sebab itu, industrialisasi pedesaan adalah sebuah keniscayaan. Bergantung pada
potensi SDA dan SDM nya, industrialisasi itu bisa berupa industri pengolahan (hilir) hasil pertanian dan perikanan; industri peralatan dan mesin pertanian (pabrik traktor, kincir air tambak, mesin kapal, jaring dan alat tangkap ikan lainnya, dan galangan kapal); industri elektronik, otomotif, dan pariwisata. Yang penting, industrialisasi ini harus mampu menampung kelebihan tenaga kerja (labor surplus) dari sektor on-farm, mensejahterakan, dan ramah lingkungan.
Program pembangunan pertanian dan kelautan serta industrialisasi pedesaan di atas hanya dapat berjalan optimal, bila didukung dengan infrastruktur dasar (jaringan jalan, telkom, listrik, air bersih, pelabuhan, dan bandara) dan pasok energi yang mumpuni. Akhirnya, iklim investasi dan kemudahan berbisnis (seperti perizinan, keamanan berusaha, dan konsistensi kebijakan pemerintah) yang selama ini menghambat tumbuh kembangnya pembangunan pertanian, kelautan, dan industrialisasi pedesaan harus dibenahi secara revolusioner.